Harga minyak jatuh menjadi USD65 per barel akhir pekan lalu. Penurunan ini disebabkan oleh tarif impor AS dan kenaikan pasokan dari OPEC+ yang tidak terduga.
Tarif resiprokal yang baru diumumkan Presiden AS Donald Trump telah memicu kekhawatiran atas perang dagang global yang dapat membebani permintaan minyak.
Bank sentral Rusia memperingatkan, bahwa AS dan OPEC mempunyai kapasitas membanjiri pasar minyak dunia dan menyebabkan terulangnya kejatuhan harga minyak berkepanjangan seperti era 1980-an.
China meningkatkan pembelian minyak dari Brasil dan Afrika Barat akibat meningkatnya harga minyak di Timur Tengah. Hal itu dilaporkan Reuters pada Rabu (18/2).
Arab Saudi akan menaikkan harga minyak mentah untuk para pembeli di Asia pada Maret ke level tertinggi dalam lebih dari satu tahun terakhir karena pengetatan sanksi AS.
Masyarakat yang berpartisipasi pada program pengumpulan minyak jelantah ini akan memperoleh saldo e-wallet UCollect dimana seliter saat ini dihargai di kisaran Rp.6000.
Harga minyak naik 2% ke level tertinggi dalam empat bulan pada Senin (14/1), di tengah ekspektasi bahwa sanksi AS yang lebih luas terhadap minyak Rusia.
Secara mingguan, harga minyak Brent naik 0,4% sementara WTI naik 0,2% di tengah optimisme upaya stimulus ekonomi akan mendorong pemulihan ekonomi di China.
Harga minyak naik di awal pekan ini setelah kejatuhan rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad yang membawa ketidakpastian yang lebih besar ke kawasan Timur Tengah.
Beberapa tanda-tanda dedolarisasi terlihat jelas di ruang komoditas, dimana transaksi energi dilakukan dengan menggunakan mata uang non-USD atau dolar AS.
Rencana Israel dan Amerika Serikat (AS) menyerang fasilitas produksi minyak Iran diyakini akan menjadi bumerang yang akan mengguncang pasar energi dunia.
Jika Israel menyerang industri minyak Iran dan Negeri Mullah itu membalas dan menutup Selat Hormuz, harga minyak diprediksi bisa meroket menjadi USD150 per barel.