Hukum
berdebat dalam Islam adalah dibolehkan selama kedua belah pihak sama-sama punya dalil yang kuat dan mengedepankan logika. Sedangkan debat yang tercela dalam Islam adalah suatu perbedatan yang tidak memakai dasar ilmu, tanpa dalil, dan sepenuhnya subjektif. Debat yang tercela adalah debat yang lebih mengutamakan otot, bukannya argumen.
Secara umum, debat dalam menghilangkan keberkahan dari ilmu. Allah sendiri pun sangat membenci orang yang paling keras dalam berdebat atau merasa diri paling benar. Orang seperti ini hanya ingin dirinya menang, oleh karena itulah Allah sangat tidak menyukainya. Perhatikan hadis
Nabi MuhammadSAW berikut ini:
“
Orang yang paling dibenci oleh Allah adalah orang yang paling keras debatnya.” (HR.
Bukhari , No. 4523)”
Baca juga:
Tak Sabar Tunggu Debat Cawapres 2024, Aiman: Mahfud MD Macan Debat Tujuan debat sejatinya hanyalah untuk mencari kebenaran. Maka ketika kebenaran sudah diterima dengan akal sehat dan logika, maka tidak perlu ada lagi perdebatan yang panjang.
Di sisi lain,
Al-Qur’an menjadikan debat sebagai salah satu pilar utama dari beberapa pilar
dakwah , sebagaimana pula menjadikan debat sebagai bagian dari dialog.
Istilah debat dan dialog digunakan oleh al-Qur’an dengan makna yang sama. Adapun metode perdebatan yang digunakannya, al-Qur’an menempuh berbagai macam metode yang dapat menyentuh sisi-sisi kejiwaan dari manusia, baik dari aspek logika, hati, perasaan dan inderanya.
Dalam menyampaikan perdebatannya, al-Qur’an menggunakan susunan yang sangat kokoh, dalil-dalil yang sangat terang dan argumen-argumen yang sangat kuat dan dapat diterima oleh akal yang sehat, jiwa yang mulia dan hati yang suci.
Baca juga:
Sikap Imam Syafi'i Ketika Berdebat dengan Orang Bodoh Debat yang qur’ani merupakan jalan dakwah kepada Allah dan dialog persuasif merupakan sunah (ajaran) al-Qur’an yang harus dipegang erat oleh umat Islam dan harus diambil oleh mereka ketika berdebat dengan sesuatu yang lebih baik, dengan harapan lawan bicara mendapatkan petunjuk untuk kembali ke jalan yang benar. Langkah-langkah dialog dalam perdebatan tentunya harus tetap mematuhi etika dan ketentuan yang sudah ada.
Imam Ghazali dalam kitab
Ihya Ulumuddin menceritakan suatu ketika
Imam Syafi'i ditanya mengenai suatu masalah, namun ia diam. Begitu ditanya, "kau tak tau jawabannya?" Beliau menjawab, "Aku berpikir dulu mana yang lebih utama apakah dijawab atau tidak."
Sikap Imam Syafi'i ketika ditanya orang bodoh itu juga tertera dalam
Mafahim Yajibu an Tushahhah karya Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Surabaya Haiatus Shafwah Al-Malikiyyah.
Imam Syafii mengatakan: "Setiap kali berdebat dengan kelompok intelektual aku selalu menang. Tetapi anehnya kalau berdebat dengan orang bodoh, aku kalah tanpa daya."
Baca juga:
Ketika Imam Syafi'i Berdebat dengan Ulama Senior Mazhab Hanafi Ada pepatah atau kata mutiara Arab yang menyebut:
ترك الجواب على الجاهل جواب
Tarkul jawab alal jaahil jawabun"Tidak menjawab pertanyaan ('orang') bodoh adalah jawaban".
Selain Imam Syafii, Kata mutiara ini dipraktikkan calon Wakil Presiden
Mahfud MD tatkala berdebat dengan Cawapres
Gibran Rakabuming Raka . Mahfud tidak menjawab pertanyaan Gibran. Sikap Mahfud tersebut sudah barang tentu sebagai jawaban.
Baca juga:
Bolehkah Berdebat dalam Perspektif Islam? (mhy)