DAMASKUS - Selama dua hari, Rihab Kamel dan keluarganya bersembunyi ketakutan di kamar mandi rumah mereka di kota Baniyas saat orang-orang bersenjata menyerbu lingkungan tersebut, mengejar anggota minoritas Alawite (Alawi)
Suriah. Kota pesisir tersebut merupakan bagian dari jantung wilayah Alawite Suriah yang telah dilanda kekerasan paling dahsyat sejak rezim
Presiden Bashar al-Assad digulingkan pada Desember 2024 lalu.
"Kami mematikan lampu dan bersembunyi. Ketika kami berhasil melarikan diri dari lingkungan kami di Al-Qusour, kami mendapati jalanan penuh dengan mayat," kata Kamel, seorang ibu berusia 35 tahun, kepada
AFP, Senin (10/3/2025).
Baca Juga: Tak Peduli Ramadan, Perang Saudara Loyalis Assad vs Pasukan Suriah Tewaskan 1.018 Orang Sebuah keluarga Kristen melindungi mereka dan kemudian membantu mereka mencapai perbatasan dengan Lebanon, katanya, seraya menambahkan bahwa mereka berencana untuk melarikan diri melintasi perbatasan.
"Kejahatan apa yang dilakukan anak-anak itu? Apakah mereka juga pendukung rezim (yang digulingkan)?" katanya. "Kami sebagai orang Alawite tidak bersalah."
Kekerasan pecah pada hari Kamis setelah orang-orang bersenjata yang setia kepada Assad menyerang pasukan keamanan baru Suriah.
Bentrokan berikutnya mengakibatkan puluhan orang tewas di kedua belah pihak.
Kelompok pemantau perang Suriah, Syrian Observatory for Human Rights (SOHR), kemudian melaporkan bahwa pasukan keamanan dan kelompok sekutunya membantai sedikitnya 745 warga sipil Alawite di provinsi Latakia dan Tartus.
Presiden interim Suriah Ahmed al-Sharaa, yang memimpin kelompok Islamis Hayat Tahrir al-Sham yang mempelopori serangan kilat yang menggulingkan Assad, pada hari Minggu menyerukan agar "persatuan nasional (dan) perdamaian sipil" dipertahankan.
"Insya Allah, kita akan dapat hidup bersama di negara ini," katanya di sebuah masjid di Damaskus.
Namun, di desa-desa dan kota-kota di pesisir, orang-orang berbicara tentang pembunuhan sistematis.
Beberapa Menit dari Kematian
Assad, yang juga seorang Alawite, selama berkuasa berusaha menampilkan dirinya sebagai pelindung kaum minoritas Suriah.
Sedangkan pemerintah baru Suriah telah berulang kali menjanjikan transisi inklusif yang melindungi hak-hak kaum minoritas agama.
Namun, daerah inti Alawite telah dicengkeram oleh rasa takut akan pembalasan atas pemerintahan brutal klan Assad selama beberapa dekade.
Warga Baniyas, Samir Haidar (67), mengatakan kepada
AFP bahwa dua saudara laki-lakinya dan keponakannya dibunuh oleh kelompok bersenjata yang memasuki rumah-rumah penduduk.
Meskipun sebagai seorang Alawite, Haidar termasuk dalam kelompok oposisi kiri di bawah pemerintahan Assad dan dipenjara selama lebih dari satu dekade.
Dia mengatakan bahwa dirinya mulai mendengar ledakan dan tembakan pada Jumat pagi saat pasukan yang dikerahkan ke kota tersebut tiba, seraya menambahkan bahwa ada "orang asing di antara mereka".
"Mereka memasuki gedung dan membunuh satu-satunya tetangga saya," katanya.
Dia berhasil melarikan diri bersama istri dan dua anaknya ke lingkungan Muslim Sunni, tetapi berkata: "Jika saya terlambat lima menit, saya pasti terbunuh."
Pada hari yang sama, orang-orang bersenjata memasuki gedung saudaranya yang berjarak 100 meter (yard).
"Mereka mengumpulkan semua orang di atap dan menembaki mereka," kata Haidar.
"Keponakan saya selamat karena dia bersembunyi, tetapi saudara laki-laki saya terbunuh bersama dengan semua orang di gedung itu," paparnya.
Dia menambahkan bahwa saudara laki-laki lainnya, yang berusia 74 tahun, dan keponakannya terbunuh bersama dengan semua orang di gedung mereka.
"Ada rumah-rumah dengan empat atau lima mayat di dalamnya," kata Haidar.
"Kami telah memohon agar dapat menguburkan jenazah kami," katanya, seraya menambahkan bahwa sejauh ini dia belum dapat menguburkan saudara-saudaranya.
"Mayat di Laut"
Di kota pelabuhan Latakia,
AFP mendengar kesaksian dari penduduk yang mengatakan kelompok bersenjata menculik sejumlah warga Alawite yang kemudian dibunuh.
Di antara mereka adalah kepala pusat budaya milik negara, Yasser Sabbouh, yang diculik dan jenazahnya dibuang di luar rumahnya, kata seorang wartawan
AFP.
Di Jableh yang lebih jauh ke selatan, seorang penduduk berbicara kepada
AFP sambil menangis, mengatakan bahwa mereka diteror oleh kelompok bersenjata yang telah menguasai kota tersebut.
"Ada enam orang di rumah itu, bersama orang tua dan saudara-saudara saya. Tidak ada listrik selama empat hari, tidak ada air. Kami tidak punya apa-apa untuk dimakan dan kami tidak berani keluar," katanya yang dengan syarat tidak disebutkan namanya karena khawatir akan keselamatannya.
"Lebih dari 50 orang dari keluarga dan teman-teman saya telah terbunuh," imbuh dia. "Mereka mengumpulkan mayat-mayat dengan buldoser dan menguburnya di kuburan massal."
Jaafar Ali, seorang Alawite berusia 32 tahun dari wilayah tersebut, melarikan diri ke negara tetangga Lebanon bersama saudaranya.
"Saya rasa saya tidak akan segera kembali," katanya. "Kami adalah pengungsi tanpa tanah air. Kami ingin negara-negara membuka (saluran) migrasi kemanusiaan bagi orang Alawite."
(mas)