YERUSALEM - Perayaan Paskah bagi umat Kristen Palestina di Yerusalem telah lama menjadi momen spiritual yang penting.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, khususnya sejak konflik antara Israel dan Hamas pada Oktober 2023, akses umat Kristen Palestina ke tempat-tempat suci di Yerusalem semakin dibatasi otoritas Israel.
Pembatasan oleh rezim apartheid Zionis ini mencakup penolakan izin masuk, pembatasan jumlah peserta dalam upacara keagamaan, serta tindakan kekerasan dari aparat keamanan dan pemukim ekstremis Yahudi.
Berikut ini berbagai fakta tentang tindakan diskriminatif Israel terhadap warga Kristen Palestina.
1. Pembatasan Akses dan Izin Masuk
Tradisi umat Kristen Palestina untuk merayakan Paskah di Yerusalem, terutama di Gereja Makam Kudus, telah terganggu oleh kebijakan pembatasan akses yang ketat.
Pada tahun 2025, dari sekitar 50.000 umat Kristen Palestina, hanya 4.000 yang diberikan izin masuk ke Yerusalem untuk merayakan Paskah.
Izin yang diberikan pun seringkali bersifat sementara dan dibatasi dalam hal durasi serta area yang boleh diakses.
Banyak umat Kristen dari Gaza dan Tepi Barat tidak mendapatkan izin sama sekali, memaksa mereka untuk merayakan Paskah di wilayah mereka sendiri tanpa bisa mengunjungi tempat-tempat suci di Yerusalem.
2. Pembatasan Jumlah Peserta dalam Upacara Keagamaan
Upacara "Api Suci" di Gereja Makam Kudus, yang merupakan bagian penting dari perayaan Paskah Ortodoks, juga mengalami pembatasan.
Jika sebelumnya upacara ini dihadiri sekitar 10.000 orang, pada tahun 2025 jumlah peserta dibatasi hanya 1.800 orang di dalam gereja dan 1.200 orang di luar.
Pembatasan ini memicu protes dari para pemimpin gereja yang menilai kebijakan tersebut sebagai pelanggaran terhadap status quo yang telah berlangsung selama berabad-abad.
3. Kekerasan dan Intimidasi terhadap Umat Kristen
Selain pembatasan administratif, umat Kristen Palestina juga menghadapi kekerasan dan intimidasi fisik.
Laporan menunjukkan peningkatan serangan terhadap gereja, biarawan, dan peziarah oleh pemukim ekstremis Yahudi.
Umat Kristen yang mencoba mengikuti prosesi Jalan Salib di Via Dolorosa seringkali dihadang oleh aparat keamanan atau mengalami pelecehan dari kelompok-kelompok ekstremis.
Situasi ini menciptakan atmosfer ketakutan dan mengurangi partisipasi umat dalam perayaan keagamaan mereka.
4. Dampak Tekanan terhadap Komunitas Kristen Palestina
Kebijakan pembatasan dan kekerasan yang terus-menerus telah mendorong banyak umat Kristen Palestina untuk meninggalkan tanah kelahiran mereka.
Di Bethlehem, misalnya, jumlah umat Kristen telah berkurang drastis dalam beberapa dekade terakhir.
Faktor-faktor seperti kesulitan ekonomi, diskriminasi, dan pembatasan kebebasan beragama menjadi alasan utama migrasi ini.
Akibatnya, komunitas Kristen yang dahulu menjadi bagian integral dari masyarakat Palestina kini semakin terpinggirkan.
5. Reaksi Internasional dan Seruan untuk Perubahan
Berbagai organisasi hak asasi manusia dan pemimpin gereja internasional telah mengecam tindakan Israel yang membatasi kebebasan beragama umat Kristen Palestina.
Mereka menyerukan kepada komunitas internasional untuk menekan rezim penjajah Israel agar menghormati hak-hak umat beragama dan menjaga status quo di tempat-tempat suci.
Namun, hingga kini, perubahan signifikan belum terjadi, dan umat Kristen Palestina terus menghadapi tantangan dalam menjalankan ibadah mereka.
Situasi ini mencerminkan kompleksitas konflik di wilayah tersebut, di mana kebebasan beragama menjadi salah satu aspek yang terdampak.
Perlindungan terhadap hak-hak umat beragama, termasuk umat Kristen Palestina, memerlukan perhatian dan tindakan dari komunitas internasional untuk memastikan semua individu dapat menjalankan ibadah mereka tanpa takut atau hambatan.
Baca juga: Bangsa di Balik Jeruji Besi: Mengapa Israel Penjarakan 10.000 Warga Palestina? (sya)