Wooyeal PaikProfesor Ilmu Politik dan Studi Internasional, Universitas Yonsei, Korea Selatan PRESIDEN Rusia Vladimir Putin telah mengundang secara resmi Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un untuk menghadiri parade militer di Moskow pada 9 Mei, hari yang memperingati kemenangan Uni Soviet atas Nazi Jerman dalam Perang Dunia II. Imbalan diplomatik yang ditawarkan Rusia atas keterlibatan militer Korea Utara dalam perang di Ukraina jauh melampaui ekspektasi.
Posisi militer dan diplomatik Korea Utara telah berubah secara signifikan dibandingkan dengan posisinya sebelum perang, sebelum adanya transfer senjata dan dukungan pasukan. Selain menerima perlakuan istimewa dari Rusia, Korea Utara kini juga menarik perhatian negara-negara Eropa yang mendukung Ukraina. Korea Selatan, Jepang, dan China semakin cemas tentang potensi dampak regional dari meningkatnya pengaruh Korea Utara melalui hubungannya dengan Rusia.
Sejak dimulainya pemerintahan Donald Trump yang kedua, yang tahun ini mulai mengutamakan kepentingan ekonomi jangka pendek tanpa membedakan sekutu dan musuh, pengaruh Korea Utara terhadap Rusia dipastikan akan semakin menguat. Terutama, berbeda dengan Pemerintahan Joe Biden sebelumnya, Pemerintahan Trump memilih untuk tetap diam atas invasi Rusia ke Ukraina dan mendorong penyelesaian perang yang menguntungkan Rusia.
Baca juga:
Putin Klaim Rusia Rebut Kembali Kursk dari Tentara Ukraina Trump telah meluncurkan strategi realis paling dasar dan lugas dalam politik kekuatan. Trump berupaya untuk melepaskan Rusia dari China, yang merupakan rival hegemoni utama Amerika Serikat, dan mendekatkannya dengan AS. Apakah strategi ini akan berhasil? Masih belum pasti. Tetapi Trump kini mencoba menarik Rusia menjauh dari China, mirip dengan yang dilakukan Presiden Nixon saat menarik China dari Uni Soviet pada 1970-an.
Putin, yang memadukan kekuasaan otoriter di dalam negeri dengan pengalaman politik internasional yang berani namun berpengalaman, jelas memahami niat Trump dan berusaha memanfaatkannya semaksimal mungkin dalam negosiasi akhir perang.
Trump dilaporkan juga diundang ke parade militer 9 Mei tersebut, dan tentu saja, Presiden China Xi Jinping juga diundang. Mungkin kita akan menyaksikan pemandangan surreal di mana Trump dan Xi duduk di sisi kanan dan kiri Putin, sementara Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un berdiri di samping Trump, tersenyum, saat mereka menyaksikan parade persenjataan terbaru Rusia. Prospek di mana pemimpin Korea Utara—negara paria paling terisolasi di dunia—berdiri sejajar dengan kepala negara Amerika Serikat, China, dan Rusia adalah sesuatu yang luar biasa.
Meskipun kecil kemungkinannya terjadi, jika ini benar-benar terjadi, hal ini akan mengejutkan tidak hanya sekutu Amerika di Eropa dan Asia Timur, tetapi juga China. Bahkan hanya dengan membicarakan skenario semacam itu sudah cukup untuk menunjukkan bahwa pengaruh Korea Utara terhadap Rusia telah menjadi variabel kunci dalam dinamika keamanan Eropa dan Asia Timur.
Jika Kim menghadiri parade Hari Kemenangan Rusia dan berdiri di samping Xi di kedua sisi Putin, penting untuk memikirkan apa artinya bagi China. Yang paling penting, hal itu akan menandai masuknya China ke dalam kerangka aliansi militer dan komprehensif trilateral bersama Rusia dan Korea Utara, sebuah poros yang selama ini coba dihindari oleh China. Pembentukan struktur trilateral semacam itu akan mendorong kekuatan Barat yang mapan untuk meningkatkan kewaspadaan, upaya penahanan, dan tekanan terhadap China.
Baca juga:
Perang Dagang dan Penurunan Pendapatan Minyak Bikin Menkeu Rusia Was-was Bersama Rusia dan Korea Utara, China akan secara tak terbantahkan dipandang sebagai ancaman terhadap keamanan militer, ekonomi, dan teknologi—yakni keamanan konvergen—dari negara-negara maju Barat. Meskipun negara-negara Selatan Global, negara berkembang, mungkin tidak bereaksi keras, China tetap akan mengalami pukulan reputasi serius karena dicap sebagai ancaman keamanan bagi dunia maju.
China juga, pada dasarnya, akan secara resmi mengakui pengaruh Korea Utara terhadap Rusia. Dalam dinamika politik dan keamanan internasional, China dan Korea Utara selama ini memiliki kepentingan strategis yang sejajar, dengan Korea Utara tidak memiliki pelindung lain selain China—menempatkannya dalam posisi ketergantungan absolut terhadap China. Namun, kini Rusia telah muncul, setidaknya sebagian, sebagai pelindung alternatif, memperkenalkan variabel baru yang signifikan dalam hubungan China-Korea Utara yang tidak bisa diabaikan.
Sebagai bagian dari kerja sama militernya dengan Rusia, Korea Utara telah memperoleh berbagai teknologi senjata strategis canggih dari Moskow untuk memperkuat kapabilitas militer independennya. Rusia bahkan secara resmi telah mengakui senjata nuklir dan sistem peluncur Korea Utara. Bagi Korea Utara, ini adalah kemenangan diplomatik—seperti hujan setelah kekeringan panjang. Namun bagi China, ini merupakan pukulan serius terhadap kepentingan nasionalnya, dan realitas baru ini diperkirakan akan semakin mengakar dalam beberapa tahun ke depan.
Hingga saat ini, China masih menahan diri untuk tidak memberikan dukungan atau pengakuan eksplisit terhadap Korea Utara dalam bidang militer, termasuk program senjata nuklirnya. Secara khusus, Beijing terus mempertahankan posisi hati-hati dan penuh perhitungan terhadap senjata nuklir Korea Utara.
Lalu, bagaimana seharusnya China merespons kedekatan yang semakin dalam antara Korea Utara dan Rusia? Selama dua tahun terakhir, saat hubungan Rusia-Korea Utara semakin erat, China sebagian besar memilih mengabaikan situasi tersebut dan tetap pasif. Sampai taraf tertentu, dukungan militer Korea Utara terhadap Rusia telah membawa keuntungan tidak langsung bagi China. Karena Beijing akhirnya terhindar memberikan bantuan militer langsung ke Moskow.
Namun, hasilnya justru meningkatkan pengaruh Korea Utara terhadap Rusia. Salah satu opsi bagi China adalah menahan diri untuk tidak ikut serta dalam kerja sama militer Rusia–Korea Utara, dan memilih respons pasif. Tujuan China untuk menghindari terseret ke dalam kerangka aliansi militer trilateral bersama Rusia dan Korea Utara.
Trump diperkirakan akan mengejar negosiasi langsung dengan Korea Utara tahun ini. Korea Utara, pada gilirannya, kemungkinan akan berusaha semaksimal mungkin memanfaatkan pengaruhnya terhadap Rusia dalam proses ini. Mungkin hal pertama yang perlu diperhatikan adalah siapa yang akan menghadiri parade militer Rusia bulan depan. Kim? Trump? Xi? Mulai dari Jepang dan Korea Selatan hingga Prancis, Jerman, Inggris, dan Polandia—semua mata tertuju pada ke mana bayang-bayang China—yang membayangi Rusia dan Korea Utara—akan jatuh. Amerika Serikat, tentu saja, juga memperhatikan.
(abd)