WASHINGTON - Miliarder
Elon Musk kembali mengkritik pedas
jet tempur siluman F-35 Lightning II
Amerika Serikat (AS). Menurutnya, kawanan
drone murah China bisa menghancurkan jet tempur mahal buatan Lockheed Martin itu hanya dalam hitungan detik.
Lockheed Martin telah menjadi sorotan media Amerika setelah kalah dari Boeing dalam perebutan kontrak untuk membangun jet tempur generasi ke-6 Angkatan Udara AS yang dijuluki F-47.
Lockheed Martin kemudian berjanji untuk meng-
upgrade F-35 generasi ke-5 dengan teknologi generasi ke-6.
Musk, yang ditujuk menjadi penasihat pemerintah Presiden Donald Trump untuk efisiensi pengeluaran federal, tidak pernah menutupi rasa jijiknya terhadap program pengembangan senjata termahal dalam sejarah Pentagon, dengan berulang kali menyebut F-35 "usang" dan "mahal" di era kawanan
drone murah.
Baca Juga: Elon Musk: Orang Idiot Masih Membangun Jet Tempur Siluman F-35 AS Pada kesempatan sebelumnya, Musk menyebut program F-35 sebagai "nilai militer terburuk untuk uang dalam sejarah".
Kritik terbaru Musk ditulis di X, dalam konteks teknologi pesawat nirawak China yang sedang berkembang pesat.
Biaya F-35 yang membengkak dikemukakan oleh jurnalis investigasi Laura Loomer. Loomer mengeklaim bahwa Lockheed Martin mengirimkan jet tempur F-35 yang sama sekali tidak siap untuk tempur.
Kritik Pedas Elon Musk pada F-35
Laporan media di masa lalu mengeklaim bahwa, bahkan pada tahun 2025, program F-35 Joint Strike Fighter (JSF) belum dapat memenuhi pedoman untuk mengembangkan dan menguji perangkat lunak, terutama dengan upaya Technology Refresh 3 dan Block 4 yang telah lama tertunda, menurut laporan Uji dan Evaluasi Operasional tahunan.
Menanggapi Loomer, Musk menulis di X: "Pesawat berawak akan langsung dihancurkan oleh kawanan pesawat nirawak murah."
F-35 Lightning II JSF, yang dikembangkan oleh Lockheed Martin, adalah program senjata Departemen Pertahanan AS yang paling mahal dan ambisius.
Meskipun dipuji karena perannya yang krusial dalam keamanan nasional AS, program ini terus-menerus dikritik karena biaya dan penundaannya yang berlebihan. Program ini merupakan usaha militer termahal dalam sejarah, dengan Kantor Akuntabilitas Pemerintah (GAO) AS memperkirakan bahwa biaya seumur hidupnya akan melebihi USD2 triliun.
Pada tahun 2024, laporan Pentagon yang telah dideklasifikasi mengungkapkan kelemahan program tersebut.
"Keandalan, pemeliharaan, dan ketersediaan armada AS secara keseluruhan masih di bawah ekspektasi layanan," bunyi laporan tersebut. Lockheed Martin merespons: "F-35 secara konsisten memenuhi atau melampaui persyaratan kinerja keandalan yang dikontrak untuk kami berikan, karena hampir 90% komponen F-35 berkinerja lebih baik dari yang dibutuhkan."
Pesawat ini telah beroperasi di 20 negara sekutu Amerika.
Saat memberikan kontrak untuk platform Next Generation Air Dominance (NGAD), yang diberi nama F-47, kepada Boeing, pemerintah AS telah berjanji untuk belajar dari kesalahan yang dilakukan dalam mengembangkan F-35 Lightning II generasi ke-5, yang telah mengubahnya menjadi program senjata yang sia-sia.
Kesalahan terbesar sepanjang masa adalah bahwa pemerintah AS tidak memiliki hak kekayaan intelektual yang terkait dengan pengembangan pesawat tempur generasi ke-5. Hal ini telah memberikan kendali kepada kontraktor utama atas beberapa aspek siklus hidup pesawat.
Selama bertahun-tahun, Angkatan Udara AS telah membahas pelajaran yang dipetik dari pengembangan jet tempur F-35. Salah satu masalah utama adalah pendekatan "konkurensi", di mana produksi dimulai bahkan sebelum desain dibekukan sepenuhnya. Hal ini menyebabkan perubahan desain yang mahal dan memakan waktu selama produksi.
Lockheed Martin akhirnya memecah kebungkamannya ketika Kepala Eksekutif-nya, Jim Taiclet, mengeklaim bahwa perusahaan dapat mengintegrasikan 80% teknologi NGAD generasi keenam ke dalam F-35 Lightning II generasi kelima, yang sudah diproduksi dengan lebih dari 1.100 unit sejauh ini, dengan setengah biaya.
Upgrade ini akan menciptakan apa yang akan dikenal sebagai varian "generasi kelima plus" dari F-35. "Pada dasarnya kami akan mengambil sasis [F-35] dan mengubahnya menjadi Ferrari," kata Taiclet.
Pentingnya jet tempur berawak untuk misi penting yang berlarut-larut tidak diragukan lagi, tetapi kebangkitan industri pesawat nirawak China telah menciptakan riak dalam strategi negara-negara terkemuka di dunia.
“Pesawat nirawak China seperti DJI atau model militer harganya seperseribu dari harga F-35 tetapi dapat menghancurkannya dalam hitungan detik,” tulis Musk di X, seperti dikutip dari
EurAsian Times, Selasa (29/4/2025).
“Pesawat nirawak berawak adalah cara yang tidak efisien untuk memperluas jangkauan rudal atau menjatuhkan bom. Pesawat nirawak yang dapat digunakan kembali dapat melakukannya tanpa semua beban pilot manusia. Dan pesawat nirawak akan ditembak jatuh dengan sangat cepat jika pasukan lawan memiliki SAM [rudal darat ke udara] atau pesawat nirawak yang canggih, seperti yang ditunjukkan oleh konflik Rusia-Ukraina,” imbuh Musk.
Kebangkitan Industri Pesawat Nirawak China
Bahkan sebelum perang Ukraina-Rusia menggarisbawahi bahwa peperangan di masa depan akan memiliki komponen kendaraan tempur nirawak yang lebih besar, China telah memasukkan sistem nirawak ke dalam perencanaan strategisnya.
Buku putih pertahanan China tahun 2019 menyatakan, "Ada tren yang berlaku untuk mengembangkan persenjataan atau peralatan presisi jarak jauh, cerdas, siluman, atau tak berawak.”
Laporan itu menambahkan bahwa "perang cerdas sudah di depan mata."
China telah mengembangkan sistem yang mampu menyerang dan sistem tanpa senjata untuk misi intelijen, pengawasan, dan pengintaian (ISR).
Laporan Departemen Pertahanan AS tahun 2018 mencatat bahwa Angkatan Udara Tentara Pembebasan Rakyat (PLAAF) China mendekati kesenjangan dengan Angkatan Udara AS dalam berbagai kemampuan, yang secara bertahap mengikis keunggulan teknis AS yang sudah lama ada.
Seri Wing Loong dan Caihong (CH) China telah menjadi platform pilihan bagi negara-negara di seluruh dunia, khususnya di Timur Tengah dan Afrika Utara. China juga memiliki armada pesawat nirawak pengintai, termasuk Soaring Dragon dan Cloud Shadow.
Dominasi China atas pasar pesawat nirawak terlihat jelas selama Zhuhai Airshow pada tahun 2024. Beijing memperkenalkan anggota baru keluarga pesawat nirawak CH China, termasuk CH-9, pesawat nirawak pengintai bersenjata berukuran besar, dan CH-7, versi terbaru yang ditingkatkan dari pesawat nirawak peringatan dini siluman.
Pesawat nirawak berbiaya rendah lainnya, CH-3D, dan pesawat nirawak kargo, CH-YH1000, juga dipamerkan.
CH-9, pesawat nirawak pengintai bersenjata CH terbaru, memiliki jangkauan 11.500 kilometer dan dapat lepas landas dengan berat 5.000 kilogram. Pesawat ini dapat terbang selama 40 jam untuk melakukan pengawasan.
Selain pesawat nirawak ini, China telah memperkenalkan "induk dari semua pesawat nirawak" generasi berikutnya, yang mampu membawa pesawat nirawak yang lebih kecil di dalamnya.
Jetank, kendaraan udara nirawak yang berat, dipamerkan untuk pertama kalinya di Zhuhai Airshow 2024, yang ditutup pada 17 November. Drone besar itu dapat membawa rudal, bom, dan drone yang lebih kecil, sehingga mendapat julukan "swarm carrier".
Jetank dipamerkan di area tampilan statis luar ruangan milik negara Aviation Industry Corporation of China (AVIC).
Menurut laporan
Global Times, berat lepas landas maksimumnya adalah 16 ton, kapasitas muatan maksimum enam ton, dan lebar sayap 25 meter. Platform nirawak generasi berikutnya ini memiliki delapan titik keras dan dapat mengganti modul misi dengan memanfaatkan muatan modular yang berbeda.
Tampilan tersebut memperlihatkan
drone yang dilengkapi dengan sistem radar dan pod elektro-optik di bagian hidungnya. Pod tersebut dapat dihubungkan ke satelit, sehingga memberikan kesadaran situasional di medan perang dan kemampuan kendali jarak jauh.
Kawanan Drone
GAO AS mendefinisikan "kawanan
drone" sebagai sistem terkoordinasi yang terdiri dari sedikitnya tiga dan kemungkinan ribuan drone yang dapat menjalankan misi secara mandiri dengan pengawasan manusia yang minimal.
Kawanan ini memanfaatkan kecerdasan kawanan dengan meniru pola biologis yang diamati pada kelompok semut, lebah, atau burung, di mana aturan yang terdesentralisasi menghasilkan perilaku kolektif yang kompleks.
Kawanan
drone modern memadukan kecerdasan buatan (AI) dan pembelajaran mesin (ML) untuk menavigasi rintangan seperti gangguan GPS, gangguan sinyal radio, dan kondisi lingkungan yang buruk, sehingga mempertahankan operasi yang tersinkronisasi.
Jet berawak memerlukan perawatan tinggi dan pelatihan intensif, bersama dengan infrastruktur yang substansial, berbeda dengan kawanan drone, yang hemat biaya dan dapat diskalakan.
Satu F-35 berharga sekitar USD80 juta, sementara kawanan 1.000 drone dapat dikerahkan dengan harga yang jauh lebih murah, memanfaatkan produksi massal dan desain modular.
Kawanan drone akan menjadi pengganggu medan perang, memanfaatkan kecerdasan buatan untuk melakukan manuver yang kompleks.
Militer di seluruh dunia telah mengumumkan program kawanan drone masing-masing. Contohnya proyek Icarus Prancis, Lightning Rusia, RAPAZ Spanyol, swarm Blue Bear Inggris, dan N-Raven Uni Emirat Arab/Afrika Selatan.
(mas)