floating-Paradoks Pendidikan:...
Paradoks Pendidikan: Melahirkan Cendekia, Menumbuhkan Koruptor
Paradoks Pendidikan:...
Paradoks Pendidikan: Melahirkan Cendekia, Menumbuhkan Koruptor
Rabu, 30 April 2025 - 19:27 WIB
Ramen A Purba

Dosen Politeknik Unggul LP3M

Mahasiswa Doktor Universitas Negeri Padang

PENDIDIKAN nasional kita berada di titik paradoksal. Di satu sisi, berbangga mencetak ribuan sarjana, magister, doktor, bahkan profesor setiap tahun. Namun di sisi lain, pendidikan justru menumbuhkan generasi yang rapuh integritasnya. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperlihatkan, 86% koruptor yang ditangkap berasal dari perguruan tinggi, sebagian besar menyandang gelar tinggi akademik. Realitas ini mengajukan pertanyaan mendasar. Apakah pendidikan kita benar-benar mendidik? Ataukah hanya melahirkan manusia cerdas yang miskin nurani?

Jika pendidikan hanya mengasah kecerdasan tanpa membentuk karakter, maka hasilnya bukanlah insan paripurna, melainkan cendekia yang kehilangan arah moral. Di tengah gemuruh prestasi akademik, nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan kepedulian sosial justru terpinggirkan. Lembaga pendidikan, yang seharusnya menjadi taman subur bagi pertumbuhan integritas, kini lebih sering menjadi pabrik pencetak ijazah tanpa jaminan kualitas etis di baliknya.

Lahan Subur Benih Korupsi

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, sektor pendidikan masuk lima besar bidang terkorup selama 2016–2021, bersama pemerintahan, transportasi, perbankan, dan dana desa. Dunia pendidikan yang seharusnya menjadi benteng moral bangsa malah menjadi lahan subur bagi benih-benih korupsi.

Lebih memperihatinkan, hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024 yang dirilis KPK, menunjukkan bahwa indeks integritas pendidikan nasional hanya mencapai 69,50 dari skala 100, tergolong dalam level korektif. Ini berarti, secara struktural, dunia pendidikan kita masih jauh dari idealisme kejujuran.

Survei tersebut menjangkau 36.888 satuan pendidikan di 507 kabupaten/kota di seluruh Indonesia dengan melibatkan hampir setengah juta responden. Temuannya mencengangkan, praktik menyontek ditemukan di 78% sekolah dan 98% perguruan tinggi. Sebanyak 44,75% peserta didik mengaku menyontek, dan 38,4% terbiasa meminta orang lain mengerjakan tugasnya. Bahkan, 20,69% menyatakan lebih memilih menyontek daripada belajar. Ini bukan sekadar ketidakjujuran kecil. Ini cikal bakal korupsi yang sedang disemai.

Kebiasaan menyontek, menerima dan memberi gratifikasi, hingga praktik nepotisme di lingkungan pendidikan membentuk mentalitas permisif terhadap kecurangan. Dalam jangka panjang, perilaku ini menggerogoti sendi-sendi keadilan sosial dan memperkuat budaya korupsi yang sulit diberantas. Dunia pendidikan yang abai terhadap integritas bukan hanya gagal mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi justru mempercepat kemunduran moral masyarakat.

Budaya Gratifikasi dan Nepotisme di Bangku Sekolah

Korupsi di dunia pendidikan bukan hanya terjadi dalam bentuk kecil seperti menyontek. Gratifikasi pun dianggap wajar oleh sebagian besar pendidik. Survei KPK menemukan, 29,17% guru menerima bingkisan dari siswa untuk mendapat perhatian lebih, dan 58,61% dosen menerima bingkisan dari mahasiswa demi kemudahan kelulusan. Tragisnya, 68,10% tenaga pendidik menganggap gratifikasi itu sebagai hal biasa.

Nepotisme juga mengakar kuat. Sebanyak 36,55% tenaga pendidik mendapatkan promosi karena kedekatan dengan pimpinan, bukan karena prestasi. Perlakuan khusus terhadap siswa/mahasiswa dalam penerimaan juga mencapai 60,76%. Dunia pendidikan, yang seharusnya mengajarkan meritokrasi dan keadilan, justru menormalisasi praktik-praktik culas ini. Tidak mengherankan, para cendekiawan muda yang lahir dari rahim pendidikan seperti itu akhirnya melihat korupsi sebagai sesuatu yang "biasa" ketika mereka menduduki jabatan publik.

Budaya permisif ini membentuk generasi yang pintar membenarkan kecurangan ketimbang mengoreksi kesalahan. Ketika pendidikan gagal menanamkan integritas sebagai fondasi karakter, maka diploma, gelar, dan jabatan hanya menjadi simbol kosong tanpa jiwa. Pendidikan yang abai terhadap nilai-nilai kejujuran sejatinya tengah memupuk bencana sosial yang suatu saat akan menuai krisis kepercayaan publik terhadap seluruh institusi negara.

Kegagalan Pendidikan Antikorupsi

Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK mengamanatkan KPK untuk menyelenggarakan pendidikan antikorupsi di seluruh jejaring pendidikan. Namun, hingga kini, implementasinya belum menyentuh akar persoalan. Pimpinan KPK periode 2019–2024 memang membanggakan capaian pendidikan antikorupsi. Sudah diadopsi di 26.175 satuan pendidikan, mencakup 65% perguruan tinggi di Indonesia, dan sudah memiliki dukungan regulasi di 453 pemerintah daerah.

Namun, keberhasilan yang ditunjukkan lewat angka-angka itu tetap menjadi semacam "keberhasilan statistik". Ia tidak berbanding lurus dengan perubahan perilaku. Ini menunjukkan bahwa pendidikan antikorupsi telah terjebak dalam logika proyek, bukan sebagai upaya perubahan budaya. Pendidikan antikorupsi semestinya bukan sekadar program formal, tetapi harus membentuk kesadaran, menginternalisasi nilai, dan membangun keberanian untuk menolak ketidakjujuran.

Seperti kata Ki Hajar Dewantara, pendidikan itu menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Dalam konteks hari ini, kodrat itu harus diarahkan pada kejujuran, tanggung jawab, dan integritas, bukan pada kecerdasan kosong yang siap digunakan untuk memperkaya diri sendiri dengan jalan kotor.

Tanpa keteladanan nyata dari para pendidik, pejabat publik, dan tokoh masyarakat, pendidikan antikorupsi hanya akan menjadi wacana tanpa makna. Anak-anak muda yang setiap hari melihat praktik korupsi dilegalkan, bahkan dirayakan di lingkungan sekitar, akan tumbuh menjadi generasi yang sinis terhadap nilai-nilai keadilan. Oleh karena itu, membangun budaya integritas di dunia pendidikan menuntut keberanian kolektif untuk membersihkan teladan, memperbaiki sistem, dan menumbuhkan ekosistem yang menempatkan kejujuran di atas segala bentuk prestasi akademik.

Tripusat Pendidikan yang Rapuh

Ki Hajar Dewantara mengajarkan konsep Tripusat Pendidikan, sekolah, keluarga, dan masyarakat. Pendidikan antikorupsi, jika ingin berhasil, harus hidup di ketiga ranah ini. Sayangnya, apa yang diajarkan di sekolah kerap bertolak belakang dengan apa yang ditampilkan keluarga dan masyarakat. Di sekolah, anak-anak mungkin diberi ceramah tentang kejujuran, tetapi di rumah mereka melihat orangtuanya menyuap pejabat untuk urusan administrasi. Di masyarakat, koruptor yang baru saja keluar dari penjara malah disambut bak pahlawan.

Sebagian mantan terpidana korupsi bahkan kembali tampil di panggung politik, menjadi juru bicara partai, atau menduduki jabatan publik, tanpa sedikit pun rasa malu. Dalam situasi semacam ini, pendidikan antikorupsi yang formal akan selalu kalah melawan pendidikan informal yang ditanamkan oleh teladan buruk dari lingkungan sekitar.

Pendidikan antikorupsi sejatinya bukan sekadar soal kurikulum atau modul pelajaran, melainkan soal atmosfer nilai yang konsisten dibangun di segala lini kehidupan. Anak-anak dan remaja membutuhkan figur-figur yang memperlihatkan bahwa kejujuran lebih berharga daripada kekayaan instan, bahwa integritas adalah kebanggaan sejati, bukan sekadar slogan kosong. Ketika nilai-nilai itu hidup dalam rumah, sekolah, dan ruang publik, barulah pendidikan antikorupsi menemukan tanah subur untuk bertumbuh.

Perubahan besar hanya bisa dimulai dengan kesadaran kolektif bahwa melawan korupsi tidak cukup lewat seremoni dan regulasi, tetapi mesti diwujudkan dalam tindakan nyata setiap hari. Pendidikan nasional harus kembali pada jati dirinya. Bukan sekadar mencetak orang pintar, melainkan membentuk manusia berbudi luhur. Hanya dengan jalan itu, kita bisa berharap lahir generasi baru yang tidak sekadar mengisi jabatan, tetapi menegakkan keadilan, memelihara kejujuran, dan menjaga martabat bangsa.

Revolusi Budaya Integritas

Maka, solusi atas paradoks ini bukan hanya memperbanyak kurikulum antikorupsi atau memperketat ujian. Yang dibutuhkan adalah revolusi budaya integritas. Sekolah harus kembali menjadi tempat pembentukan karakter, bukan hanya tempat mengejar nilai akademik. Guru dan dosen harus menjadi teladan hidup nilai-nilai integritas. Keluarga harus mendidik dengan keteladanan, bukan hanya dengan kata-kata. Masyarakat harus menghukum koruptor, bukan merayakannya.

Pendidikan harus berani mengajarkan bahwa keberhasilan hidup tidak diukur dari kekayaan atau jabatan, melainkan dari ketulusan, kejujuran, dan kontribusi kepada sesama. Pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang membebaskan, bukan memperbudak ambisi rendah. Pendidikan yang sejati mengajarkan kesadaran moral, bukan kecerdasan instrumental belaka.

Dalam kerangka itu, dunia pendidikan harus berani menolak segala bentuk kompromi terhadap nilai. Tidak boleh ada ruang bagi praktik-praktik manipulatif seperti jual beli nilai, gratifikasi tersembunyi, atau promosi berbasis kedekatan. Setiap pelanggaran harus direspons dengan tegas, bukan dengan pembiaran yang hanya menumbuhkan apatisme kolektif. Perubahan hanya akan nyata bila keberanian untuk bersih menjadi norma yang dihormati, bukan pengecualian yang diolok.

Kita membutuhkan gerakan nasional yang menempatkan integritas sebagai jantung pendidikan, bukan sekadar embel-embel administratif. Inilah perjuangan jangka panjang yang menuntut ketekunan, keteladanan, dan komitmen tanpa henti. Hanya dengan menanamkan integritas sebagai nafas kehidupan sejak dini, kita bisa memutus siklus paradoks ini, dan membangun Indonesia yang sungguh beradab, bukan sekadar berpendidikan.

Menjawab Tantangan Zaman

Jika kita ingin menghentikan siklus korupsi yang terus berulang, tidak ada jalan lain selain membangun kembali ekosistem pendidikan berbasis nilai. Ini memang kerja berat, melelahkan, dan membutuhkan waktu panjang. Namun di sinilah letak pertaruhan masa depan bangsa.

Seperti kata John Dewey, pendidikan bukan persiapan untuk hidup, melainkan pendidikan itu sendiri adalah kehidupan. Jika hari ini pendidikan kita menumbuhkan benih korupsi, maka kelak yang akan kita panen adalah kehancuran moral bangsa.

Paradoks ini harus segera kita akhiri. Kita tidak bisa lagi berbangga dengan angka-angka lulusan perguruan tinggi jika pada saat yang sama kita sedang menyiapkan generasi baru yang akan menjadi penghuni penjara karena korupsi.

Sudah saatnya kita bertanya dengan sungguh-sungguh. Apakah kita sedang membangun bangsa yang bermartabat, atau hanya sekadar mencetak cendekia tanpa nurani?

Jika kita terus-menerus membiarkan pendidikan berjalan dengan logika yang hanya mengejar angka dan prestasi akademik, tanpa menanamkan prinsip-prinsip moral yang kokoh, maka kita sedang menyiapkan sebuah generasi yang rapuh. Pendidikan yang baik haruslah mencetak individu yang tidak hanya pintar dalam hal teknis, tetapi juga bijak dalam mengambil keputusan hidup. Ini adalah pendidikan yang mempersiapkan manusia untuk menghadapi tantangan moral, bukan sekadar memenangkan persaingan di dunia kerja. Tanpa ini, kita akan terus berada dalam lingkaran setan yang mencetak pemimpin, profesional, dan warga negara yang berorientasi pada kepentingan pribadi semata.

Revolusi pendidikan yang kita butuhkan bukanlah revolusi yang memaksa setiap orang untuk meraih gelar atau status, melainkan revolusi yang mengubah cara pandang kita terhadap tujuan pendidikan itu sendiri. Kita harus mulai mengajarkan bahwa keberhasilan sejati tidak terletak pada posisi yang diraih atau kekayaan yang dimiliki, melainkan pada kemampuan kita untuk tetap setia pada nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Hanya dengan cara ini kita dapat mewariskan bangsa yang tidak hanya cerdas, tetapi juga beradab dan berintegritas.
(abd)
Baca Berita
Dengarkan Selanjutnya :
Program Pendidikan Pramono-Doel...
Program Pendidikan Pramono-Doel Mampu Penuhi Kebutuhan Warga
Pendidikan Indonesia,...
Pendidikan Indonesia, ke Mana?
Eks Direktur Operasional...
Eks Direktur Operasional PT Timah Alwin Albar Divonis 10 Tahun Penjara
Dua Kali Tak Hadir,...
Dua Kali Tak Hadir, KPK Jadwal Ulang Pemanggilan Wakil Ketua Komisi XI DPR
Guru Besar UIN Jakarta...
Guru Besar UIN Jakarta Sebut Model Pendidikan Kemenag Membentuk Karakter Anak Didik Tidak Ringkih