JAKARTA - Ini cerita menginspirasi dari
Kepala Sekolah SDN Tambakrejo 1 Semarang Tri Sugiyono. Ia membuat inovasi Sudut Baca Digital (Subadi), solusi sekolahnya yang rawan banjir dan membuat buku di perpusatakaan rusak.
SDN Tambakrejo 1 Semarang memang langganan banjir. Tak hanya merusak fasilitas sekolah, buku-buku yang menjadi jendela dunia anak-anak kini banyak yang sobek, kusut, bahkan lenyap tak bersisa.
Namun, di tengah genangan itu, semangat belajar tetap bertahan. Di bawah kepemimpinan Tri Sugiyono, M.Pd., SDN Tambakrejo 01 tetap gagah berdiri. Budaya literasi yang mereka bangun dengan susah payah tidak dibiarkan hancur bersama tingginya genangan air.
Baca juga: 80% Bangunan Rusak, SDN Padurenan Bekasi Terima Program Revitalisasi Prabowo Bagi Tri Sugiyono, tantangan dan permasalahan sudah menjadi bagian dari perjalanan panjangnya di dunia pendidikan. Memulai karier sebagai guru di SDN Kemijen 01 dan SDN Sarirejo (Kartini), ia menapaki jalan pendidikan dengan dedikasi keras, kerja cerdas, dan visi yang jelas.
Berbagai penghargaan pernah ia raih, dari juara Guru Prestasi tingkat Kota Semarang hingga menjadi finalis tingkat nasional.
Di tengah perjalanan kariernya, Tri juga aktif menjadi Fasilitator PINTAR Tanoto Foundation, memperkuat perannya dalam menggerakkan perubahan berbasis literasi dan numerasi di sekolah-sekolah.
Baca juga: Hardiknas 2025, Ribuan Siswa dan Guru Tanam Sayuran di Sekolah Ketika 2021 ia ditugaskan memimpin SDN Tambakrejo 01, tantangan besar langsung menghampar di hadapannya. Banjir tahunan merusak fasilitas, memperparah rendahnya minat baca peserta didik, dan memperlemah dukungan masyarakat terhadap sekolah.
Dari kondisi sekolahnya yang membuat buku-buku rusak itulah Tri kemudian melahirkan Subadi-Sudut Baca Digital. “Subadi adalah tempat buku-buku digital karya peserta didik tersimpan dan dapat diakses kapan saja melalui gawai mereka,” kata Tri.
Setiap kelas dari kelas 1 hingga kelas 6 memiliki sudut baca digital sendiri, yang dapat diakses melalui tablet, laptop, maupun gawai.
Buku tak lagi harus bertahan di rak-rak kayu rapuh. Kini, cerita dan ilmu hidup telah hadir di sekotak layar kecil dalam genggaman tangan anak-anak, di mana pun dan kapan pun mereka mau membaca.
Subadi tidak hanya menyelamatkan buku-buku dari banjir. Ia mengubah cara berpikir seluruh warga sekolah tentang literasi. Membaca bukan lagi beban, melainkan pengalaman yang akrab, menyenangkan, dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari peserta didik.
Tri sadar, perubahan sejati tidak bisa lahir dari satu orang saja. Maka, ia menggerakkan seluruh warga sekolah. Mulai dari guru, peserta didik, orang tua, bahkan masyarakat sekitar.
Guru-guru mengikuti pelatihan literasi dan numerasi berbasis teknologi. Peserta didik diajak menulis cerita digital mereka sendiri, membuat ilutrasi di buku gambar mereka, memindai halaman per halamannya, dan mengunggahnya ke sudut baca digital di kelas masing-masing agar dapat diakses teman-teman mereka.
Orang tua tak hanya mengantarkan anak-anak mereka ke sekolah, tetapi turut menghias sudut baca, menyumbang perangkat sederhana, bahkan mengajar dalam program "Orang Tua Mengajar" setiap Jumat pekan keempat. Budaya gotong royong yang lahir membuat perubahan terasa nyata di setiap sudut sekolah.
Sebagai guru yang turut menyaksikan transformasi ini, Erma Khristiyowati, S.Pd., berbagi pengalamannya. "Sebagai guru di sekolah ini, saya sangat mengapresiasi hadirnya Subadi yang diprakarsai oleh Pak Tri," ujarnya.
"Inovasi ini membuat membaca menjadi kegiatan yang lebih menyenangkan. Siswa lebih aktif, mandiri, dan terbiasa mencari informasi melalui sumber digital yang terpercaya. Ini sungguh membantu kami dalam menyelaraskan pembelajaran yang sesuai dengan zamannya," kara Erma.
Perubahan itu pun berbicara lewat angka. Tri menjabarkan, tingkat literasi pada Rapor Pendidikan Sekolah yang pada 2022 tercatat 50 persen melonjak menjadi 88,89 persen pada 2024.
Numerasi yang semula hanya 26,67 persen kini merangkak naik menjadi 77,78 persen. Di tengah keterbatasan fasilitas, angka-angka ini bukan sekadar statistik. Mereka adalah hasil dari semangat, kerja keras, dan kolaborasi seluruh warga sekolah.
Prestasi formal pun tak ketinggalan. SDN Tambakrejo 01 kini menjadi Sekolah Penggerak Kota Semarang, meraih Pelaksana Terbaik 2 Sekolah Ramah Anak pada 2024, serta menjadi rujukan bagi banyak sekolah lain dalam pengelolaan literasi dan numerasi.
Namun, bagi Tri Sugiyono, pencapaian ini bukan tujuan akhir. Ia memandang perubahan yang sesungguhnya ada pada wajah-wajah kecil yang kini lebih suka membaca, lebih aktif berimajinasi, dan lebih gigih belajar.
“Dengan Subadi siswa menjadi lebih semangat membaca dan menulis,” kata Tri.
Pada Hari Pendidikan Nasional 2025 ini, dengan tema "Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua," kisah SDN Tambakrejo 01 berdiri sebagai bukti nyata bahwa pendidikan bermutu tidak harus lahir dari gedung megah atau fasilitas berlimpah.
(nnz)