Cha Du HyeonPeneliti Utama di Asan Institute for Policy Studies, Korea SelatanPADA Oktober 2019, saat mengunjungi kawasan wisata Gunung Geumgang—yang dulunya dibangun dengan investasi Korea Selatan— pemimpin Korea Utara Kim Jong-un memerintahkan agar seluruh fasilitas milik Korea Selatan dihapus karena dianggap “kumuh dan tidak sedap dipandang.” Hal ini menunjukkan ambisinya untuk membangun sektor pariwisata dengan cara dan gaya Korea Utara sendiri.
Sejak itu, Korea Utara mulai aktif mengembangkan kawasan wisata seperti Wonsan-Galma di pesisir timur dan Samjiyeon di dekat Gunung Baekdu. Kedua wilayah ini telah diperiksa langsung oleh Kim pada Juli 2024.
Hal ini menegaskan bahwa pariwisata bukan hanya dianggap sebagai upaya menyelamatkan ekonomi, tapi sebagai pencapaian pembangunan nasional yang ingin diwariskan Kim, untuk membedakannya dari para pemimpin sebelumnya.
Untuk saat ini, wisatawan asing yang datang ke Korea Utara sebagian besar berasal dari China dan Rusia. China menjadi pasar terbesar. Misalnya pada 2018, sekitar 200.000 warga China berkunjung, mencakup 90% dari total wisatawan asing.
Korea Utara kini juga menjalin kerja sama dengan Rusia, termasuk meluncurkan kereta wisata dari Vladivostok ke kawasan Rason pada Mei ini.
Jika hubungan dengan Amerika Serikat (AS) membaik, maka Korea Utara bisa menarik lebih banyak wisatawan dari negara-negara Barat. Bahkan setelah KTT Korea Utara-AS tahun 2018, Presiden Donald Trump sempat memuji potensi pariwisata Korea Utara, terutama karena banyaknya wilayah pantai yang indah.
Citra Korea Utara sebagai negara tertutup (sering disebut "kerajaan pertapa") justru bisa menjadi daya tarik tersendiri, apalagi dengan keindahan alam yang masih alami. Namun, sektor pariwisata di negara ini tetap sulit berkembang.
Mengapa? Kim Jong-un dan kepemimpinan Korea Utara perlu merenungkan mengapa meskipun ada potensi tersebut, sektor pariwisata mereka tidak maju. Pelajaran penting dapat diambil dari kasus kerja sama pariwisata antar-Korea di masa lalu, yang akhirnya tidak membuahkan hasil nyata.
Program wisata Korea Selatan ke Gunung Geumgang berlangsung dari November 1998 hingga Juli 2018 dihentikan. Begitu juga program wisata ke Gaesong berjalan dari Desember 2007 hingga November 2008 juga mandeg.
Penghentian kerja sama pariwisata antar-Korea sebagian besar dipengaruhi oleh hubungan politik dan militer kedua pihak, tetapi buruknya infrastruktur pariwisata di Korea Utara juga berperan besar. Pertama, pariwisata tidak bisa bertumpu hanya pada pemandangan alam.
Wisatawan tidak hanya mencari fasilitas berkualitas dan atraksi alam, tetapi juga kesempatan untuk berinteraksi dengan sejarah, budaya, dan kehidupan sehari-hari negara yang dikunjungi. Bahkan mereka yang menyukai resor pantai mewah biasanya menghabiskan sebagian waktunya untuk berbelanja atau menjelajahi daerah setempat.
Di era digital, para pelancong juga mencari beragam informasi tentang tujuan wisata sebelum berkunjung. Ini membutuhkan transparansi, berbagi informasi, dan lingkungan yang memungkinkan interaksi antara wisatawan dan penduduk lokal.
Inisiatif pariwisata antar-Korea di Gaesong dan Gunung Geumgang gagal memenuhi ekspektasi ini. Faktanya, fokus Korea Utara pada pengembangan wilayah seperti Wonsan-Galma dan Samjiyeon mencerminkan preferensi rezim terhadap lokasi-lokasi di mana wisatawan dapat dengan mudah dipisahkan dari populasi umum.
Kedua, agar pariwisata berkembang, penduduk lokal tidak boleh merasa terasing atau bermusuhan terhadap wisatawan. Ini memerlukan persepsi luas bahwa pendapatan dari pariwisata membantu meningkatkan kualitas hidup mereka.
Inisiatif pariwisata antar-Korea di Gunung Geumgang awalnya diharapkan memberi manfaat bagi penduduk Korea Utara. Namun, pada akhirnya malah menimbulkan kecurigaan bahwa sebagian besar dana justru dialihkan untuk pengembangan senjata pemusnah massal (WMD) Korea Utara, termasuk senjata nuklir, atau masuk ke dana pribadi Kim untuk menopang kekuasaannya.
Lebih jauh lagi, jika—seperti yang diduga terjadi di Kompleks Industri Gaesong—penduduk dipindahkan atau dievakuasi jauh dari wisatawan, tindakan seperti ini kemungkinan besar akan menimbulkan kebencian dan penolakan dari masyarakat setempat.
Ketiga, agar pariwisata di Korea Utara bisa dihidupkan kembali, lebih dari sepuluh resolusi sanksi PBB harus dicabut. Di bawah sanksi saat ini, transaksi yang berorientasi profit dengan Korea Utara dan pemberian uang tunai dalam jumlah besar dilarang—yang menjadi hambatan signifikan bagi investasi pariwisata berskala besar dan keterlibatan perusahaan-perusahaan ternama.
Oleh karena itu, jika Kim Jong-un dan kepemimpinan Korea Utara serius ingin mengembangkan ekonomi melalui pariwisata, mereka harus terlebih dahulu menunjukkan komitmen untuk meninggalkan senjata pemusnah massal, termasuk senjata nuklir, serta melakukan reformasi dan keterbukaan yang bermakna.
Pendapatan dari pariwisata harus dialihkan bukan ke program WMD, tetapi ke investasi dalam jalan raya dan infrastruktur lain yang penting untuk pengembangan pariwisata yang berkelanjutan. Manfaat ini juga harus dirasakan oleh rakyat Korea Utara.
Tanpa kesediaan yang tulus untuk berubah, segala bentuk kerja sama pariwisata berisiko menjadi ‘kesepakatan kotor’ yang hanya bertujuan untuk menjamin kelangsungan hidup atau memperkaya rezim secara pribadi.
Jika promosi industri pariwisata Korea Utara dapat berkontribusi pada denuklirisasi, maka perdamaian di Semenanjung Korea dan kawasan Indo-Pasifik, serta peningkatan hak asasi manusia dan kesejahteraan rakyat Korea Utara akan disambut oleh semua negara, termasuk Korea Selatan.
Namun, kerja sama pariwisata akan menjadi tidak berarti jika hanya berfungsi untuk mengisi pundi-pundi pribadi seorang diktator, menyediakan sarana untuk menindas rakyat, membiayai produksi WMD yang dapat menimbulkan penderitaan luar biasa bagi umat manusia, atau dieksploitasi sebagai trofi politik oleh individu tertentu.
Komunitas internasional selama ini telah bekerja sama untuk mencegah aliran dana perang ke zona konflik. Jangan sampai pariwisata Korea Utara berubah menjadi "berlian berdarah" yang baru, indah di luar, tapi di baliknya penuh darah.
(shf)