JAKARTA - Kehadiran
Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China masih menjadi isu atau tantangan yang perlu diperhatikan dalam hubungan antara Indonesia dan Republik Rakyat China (RRC). Pada tahun ini hubungan Indonesia-RRC telah mencapai rentang waktu 75 tahun.
Pandangan ini menjadi salah satu hal yang mengemuka dan dibahas dalam seminar bertajuk “Tenaga Kerja Asing dan Hubungan Indonesia-China” yang diselenggarkan Paramadina Public Policy Institute (PPPI) bersama Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta, Senin, 5 Mei 2025.
Selain para pengamat, ada juga pemerhati hubungan internasional Ahmad Khoirul Umam, ekonom Universitas Paramadina Muhammad Iksan, dan pemerhati Tiongkok Universitas Pelita Harapan (UPH) Johanes Herlijanto.
Baca juga: Hingga 2026, KCIC Masih Pakai Tenaga Kerja dari China Kemudian, seminar dihadiri Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan Anggiat Napitupulu dan Sub Koordinator Uji Kelayakan dan Pengesahan RPTKA Sektor Industri Kementerian Ketenagakerjaan Ali Chaidar Zamani.
Managing Director of Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Ahmad Khoirul Umam mengatakan, topik mengenai TKA asal RRC bukan saja menjadi perhatian bagi masyarakat Indonesia, tetapi juga di negara-negara Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin. Dia juga menyoroti kecenderungan meningkatnya angka dan persentasi TKA asal China dibandingkan TKA asing lainnya.
Bagi Umam yang juga Dosen Program Studi Magister Ilmu Hubungan Internasional Universitas Paramadina, isu ini perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat Indonesia.
Ketua FSI yang juga Dosen Magister Ilmu Komunikasi UPH Johanes Herlijanto menilai isu TKA China sangat relevan bagi studi mengenai China dan hubungan Indonesia-RRC karena isu ini dapat dipahami dalam kerangka migran baru asal RRC.
Menurut dia, berbeda dari migran lama yang membentuk komunitas etnik Tionghoa yang telah berakar dan menjadi bagian dari masyarakat setempat di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lain. Fenomena migran baru mulai muncul sejak tahun 1980-an dan sebagian besar di antara mereka masih memegang kewarganegaraan RRC.
“Sebagian dari mereka berpendidikan tinggi dan memilih bermigrasi ke negara-negara yang relatif kaya seperti negara-negara di Eropa, Amerika Utara, dan Australia atau Selandia Baru,” ujar Johanes.
Namun, seiring dengan kebijakan RRC untuk memberikan bantuan dan berinvestasi dengan negara lain, TKA China turut membentuk fenomena migran baru.
Menurut Johanes, kehadiran tenaga kerja itu mendapat penerimaan yang beragam dari masyarakat Indonesia dari berbagai periode.
“Pada pertengahan 2000-an, masyarakat Indonesia menganggap TKA China sebagai inspirasi, khususnya karena etos kerja mereka yang memperlihatkan kedisiplinan,” ucapnya.
Namun, sejak 2015 berkembang pula pandangan negatif di kalangan masyarakat terhadap kehadiran TKA asal China, khususnya terkait jumlah dan persentasi mereka, potensi mereka menjadi pesaing bagi pekerja dan calon pekerja asal Indonesia, kesenjangan budaya, dan isu terkait legalitas.
Dalam pandangannya, meski persepsi yang berkembang dalam masyarakat kadang-kadang berbeda dari realita yang ada, namun kekhawatiran yang berkembang dalam masyarakat dapat dipahami.
Dia juga memberi perhatian khusus pada persentasi yang cukup tinggi dan kecenderungan peningkatan TKA asal China. Isu terkait legalitas dari sebagian TKA asal China juga patut mendapat perhatian khusus.
Menurut Anggiat Napitupulu, memang terjadi perubahan dalam hal perizinan sejak berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja. Perubahan tersebut berupa penyederhanaan perizinan TKA dan visa serta izin tinggal yang dapat diperoleh dengan lebih cepat.
Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan itu menuturkan kebijakan investasi RRC kini telah bergeser dari yang dulu dikenal sebagai 3M yaitu Money (modal atau uang), Manpower (tenaga kerja), dan Material (bahan baku) berubah menjadi pendekatan yang lebih strategis dan berkualitas tinggi.
“China kini memiliki fokus baru seperti transfer teknologi, kolaborasi industri, green investment (investasi hijau), ekonomi digital dan infrastruktur cerdas, serta memberi penekanan pada penggunaan TKA yang berada pada level tinggi seperti teknisi dan supervisor,” ujarnya.
Ali Chaidar Zamani mengatakan, berdasarkan pengesahan RPTKA yang telah diterbitkan pada tahun 2024 saja telah terdapat 101 ribu lebih RPTKA yang telah diterbitkan. “Namun angka ini masih berupa perizinan di atas kerja dan belum tentu merepresentasikan jumlah TKA asing yang memasuki Indonesia,” ungkapnya.
Alasan yang kerap disampaikan oleh perusahaan ketika mengajukan permohonan penggunaan TKA asal China karena proyek yang dikerjakan adalah proyek serah kunci (turn key project). Selain itu, pengoperasian mesin dan/atau teknologi yang berbasis negara asal.
“Lagi pula terdapat pula isu kepercayaan, disiplin dan etos kerja, serta ketersediaan tenaga ahli,” tuturnya.
Pemerhati ekonomi Universitas Paramadina Muhammad Iksan menambahkan kehadiran TKA asal RRC dalam beberapa waktu ke depan masih akan mewarnai masyarakat Indonesia. “Ini karena Indonesia masih menjadi negara tujuan investasi RRC di masa mendatang,” ucapnya.
Karenanya, pemerintah Indonesia harus mempertahankan upaya untuk mengurangi ekses atau dampak negatif dari kedatanganan TKA China. Caranya dengan memperkuat pengawasan izin bekerja yang baru disertai percepatan alih pengetahuan dan alih teknologi bagi perusahaan penanaman modal asing asal RRC.
(jon)