JAKARTA - AstraZeneca, perusahaan biofarmasi global berbasis sains, kembali menegaskan komitmennya dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kanker paru melalui edukasi seputar skrining dini dan pentingnya pemeriksaan profil biomolekuler. Bersama Indonesian Cancer Information and Support Center Association (CISC), AstraZeneca menggelar sesi Edukasi Pasien bertajuk Pentingnya Skrining Kanker Paru, untuk mengedukasi masyarakat mengenai kanker paru dan manfaat skrining kanker paru, salah satunya menggunakan Low-Dose CT Scan (LDCT) dan tes biomarker dalam menentukan pengobatan yang lebih tepat sasaran.
Esra Erkomay, Presiden Direktur AstraZeneca Indonesia, mengatakan, “Pemberdayaan pasien melalui informasi yang akurat dan mudah dipahami adalah langkah awal dalam melawan kanker paru. Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya berkelanjutan kami dalam mendorong masyarakat untuk lebih proaktif menjalani skrining dan memahami pilihan terapi yang tersedia. Sebagai perusahaan biofarmasi berbasis sains, kami berkomitmen menghadirkan solusi inovatif berbasis riset dengan menempatkan pasien sebagai pusat dari setiap inisiatif. Bersama CISC, kami berharap inisiatif edukasi ini tak hanya menjadi wadah berbagi, tetapi juga mendorong terciptanya ekosistem yang lebih peduli dan responsif terhadap kebutuhan pasien kanker paru di Indonesia.”
CISC menyambut positif kolaborasi ini, sejalan dengan fokus mereka dalam edukasi dan pendampingan pasien. “Sebagian besar kasus kanker paru masih terdiagnosis pada stadium lanjut, padahal pengobatan sejak dini secara signifikan dapat meningkatkan harapan hidup. Karena itu, skrining rutin—terutama bagi kelompok berisiko tinggi—tidak boleh diabaikan,” ujar Aryanthi Baramuli Putri, Ketua Umum dari CISC.
“Pemahaman pasien dan keluarga terhadap pilihan terapi, termasuk pengobatan inovatif yang semakin bersifat personal, juga sangat penting. Kami mengapresiasi inisiatif AstraZeneca dalam mendukung edukasi pasien melalui kegiatan ini, yang tak hanya memberikan informasi, tetapi juga memperkuat harapan dan keberdayaan pasien dalam menjalani pengobatan,” lanjutnya.
Skrining Kanker Paru dengan LDCT Untuk Kurangi Risiko Kematian
Kanker paru adalah salah satu tantangan kesehatan global yang mendesak. Menurut data GLOBOCAN 2022, diperkirakan terdapat 2,4 juta kasus baru kanker paru di seluruh dunia, menyumbang 23,6% dari total kasus kanker, dan hampir 1,8 juta kematian, atau 16,8% dari total kematian akibat kanker secara global.1 Di Indonesia, kanker paru juga menjadi penyebab utama kematian akibat kanker, menyumbang 14,1% dari total kematian kanker, dan 9,5% dari total kasus kanker.
Dr. Jamal Zaini, Ph.D, Sp.P.K.R, Subsp. Onk.T. (K) – Spesialis Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Subspesialis Onkologi Toraks, menyampaikan bahwa,”Mengenali faktor risiko kanker paru sangat penting. Beberapa faktor tersebut meliputi riwayat merokok, paparan zat karsinogenik, usia, serta riwayat kanker dalam keluarga. Bagi individu dengan faktor-faktor risiko ini, disarankan untuk melakukan skrining rutin sedini mungkin guna mendeteksi kanker paru pada tahap awal.”
“Salah satu metode skrining yang direkomendasikan adalah Low-Dose Computed Tomography (LDCT), yang dapat membantu menurunkan angka kematian akibat kanker paru, terutama pada kelompok berisiko tinggi. LDCT mampu mendeteksi kelainan pada paru sejak dini dan dalam ukuran sangat kecil, bahkan sebelum munculnya gejala, sehingga memungkinkan intervensi lebih cepat dan peluang kesembuhan lebih besar,” lanjut dr. Jamal.
Dua studi besar mendukung efektivitas LDCT: National Lung Screening Trial (NLST) di Amerika Serikat mencatat penurunan kematian sebesar 20% dibanding rontgen dada biasa, sementara NELSON Trial di Eropa mencatat penurunan hingga 24% pada pria dan 33% pada wanita dalam periode 10 tahun dengan skrining tahunan.
Berdasarkan pedoman dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, skrining menggunakan LDCT dianjurkan setiap dua tahun bagi individu berusia 45 tahun ke atas yang memiliki riwayat merokok berat, baik yang masih merokok maupun yang telah berhenti dalam 10 tahun terakhir, perokok pasif serta mereka yang memiliki riwayat pajanan karsinogenik. Bagi individu dengan riwayat genetik kanker dalam keluarga, skrining disarankan dimulai lebih awal, yaitu pada usia 40 tahun.
Tes EGFR: Menentukan Terapi yang Lebih Tepat untuk Pasien Kanker Paru
Kanker paru secara umum terbagi menjadi dua tipe utama, yaitu Non-Small Cell Lung Cancer (NSCLC) dan Small Cell Lung Cancer (SCLC). NSCLC merupakan jenis yang paling umum, mencakup sekitar 85% dari seluruh kasus kanker paru, dan terdiri dari beberapa subtipe seperti adenokarsinoma, karsinoma sel skuamosa, dan karsinoma sel besar. Sementara itu, SCLC mencakup sekitar 10–15% kasus, dikenal lebih agresif karena pertumbuhannya yang cepat dan sering dikaitkan dengan kebiasaan merokok. Sisanya merupakan tumor paru lain yang langka ditemukan.
Dr. Jamal Zaini, Ph.D, Sp.P.K.R, Subsp. Onk.T. (K) – Spesialis Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Subspesialis Onkologi Toraks menjelaskan, “Jika hasil skrining menunjukkan indikasi kanker, pasien akan disarankan menjalani biopsi untuk memastikan keganasan dan jenis kankernya. Jika teridentifikasi sebagai NSCLC adenokarsinoma, maka tes biomolekuler seperti EGFR sangat dianjurkan untuk menentukan terapi yang paling efektif.”
Organisasi internasional seperti National Comprehensive Cancer Network (NCCN)7 dan European Society for Medical Oncology (ESMO) 8 merekomendasikan tes EGFR pada seluruh pasien NSCLC khususnya prevalensi mutasi EGFR di Asia, termasuk Indonesia, tergolong tinggi. Meta-analisis dari 57 studi mencatat prevalensi mutasi EGFR sebesar 49,1% pada pasien NSCLC stadium lanjut di Asia—jauh lebih tinggi dibandingkan Eropa (12,8%).
Jika hasil tes EGFR positif, terapi target menjadi pilihan pengobatan yang efektif. Pilihan terapi target EGFR terdiri dari generasi pertama, seperti gefitinib dan erlotinib, generasi kedua, seperti afatinib dan dacomitinib, serta generasi ketiga, seperti osimertinib. Obat generasi ketiga seperti osimertinib dirancang untuk menghambat mutasi EGFR, termasuk mutasi resistensi T790M, dan efektif menembus sawar darah otak, serta dengan efek samping yang relatif lebih ringan dibandingkan kemoterapi konvensional.
(dra)