JAKARTA - Benazir Bhutto adalah perdana menteri (PM) wanita pertama
Pakistan dan juga di dunia Muslim. Nasibnya tragis karena tewas oleh serangan bom dan terjangan peluru saat kampanye Pemilu.
Sosok Benazir Bhuto muncul sebagai pendobrak politik dan konservatisme yang menancap kuat di tanah Pakistan.
Dia bukan sekadar simbol kemajuan, tapi juga korban tragis dari pertarungan kekuasaan antara demokrasi dan dominasi militer.
Hidupnya bagaikan mozaik antara harapan, pengkhianatan, dan darah.
Baca Juga: Perang Makin Panas, Giliran India Tembak Jatuh Jet Tempur F-16 Pakistan Profil Benazir Bhutto
Lahir pada 21 Juni 1953 di Karachi, Benazir adalah anak sulung dari Zulfikar Ali Bhutto, perdana menteri Pakistan yang dihukum gantung oleh junta militer pada 1979.
Pendidikan internasionalnya—Harvard (Radcliffe College) dan Oxford—membentuk dirinya menjadi politisi cerdas dengan pemahaman tajam soal Barat dan Timur.
Sejak muda, dia ditakdirkan tidak hanya menjadi pewaris politik ayahnya, tapi juga mewarisi musuh-musuhnya.
PM Wanita Pertama Dunia Islam
Pada 1988, di usia 35 tahun, Benazir memecahkan tabu: dia menjadi perdana menteri wanita pertama di negara mayoritas Muslim.
Di tengah tekanan dari elite militer dan kelompok Islamis, dia membawa angin segar—mendorong kesehatan ibu dan anak, kebebasan pers, dan kebijakan ekonomi moderat.
Namun, masa pemerintahannya tidak lepas dari tuduhan korupsi, dan dua kali dia dilengserkan sebelum menyelesaikan masa jabatan (1988–1990 dan 1993–1996), diduga akibat konspirasi yang melibatkan militer dan pengadilan.
Pulang dari Pengasingan Menjemput Maut
Setelah hampir satu dekade hidup di pengasingan di Dubai dan London, Benazir pulang ke Pakistan pada 2007 dengan restu Amerika Serikat dalam upaya mendamaikan kubu sipil dan militer.
Ribuan orang menyambutnya, tapi ledakan bom bunuh diri di Karachi menewaskan lebih dari 130 orang—sebuah pertanda kelam.
Pada 27 Desember 2007, Benazir tewas dalam serangan setelah kampanye di Rawalpindi.
Peluru dan bom menghentikan langkahnya hanya dua minggu sebelum Pemilu digelar.
Pemerintah militer saat itu menyalahkan kelompok Taliban, tapi banyak pihak—termasuk keluarga Bhutto—meyakini bahwa unsur militer dan badan intelijen ISI ikut bermain.
Benazir tidak hanya meninggalkan partainya, Pakistan People's Party (PPP), tapi juga legasi kepemimpinan yang diteruskan oleh suaminya, Asif Ali Zardari, dan putranya, Bilawal Bhutto Zardari. Namun bayang-bayang militer dan korupsi terus membayangi.
Mantan menteri luar negeri Amerika Serikat Condoleezza Rice dalam memoarnya menulis: “Benazir adalah harapan terbaik Pakistan, tapi terlalu banyak yang ingin harapan itu padam.”
Benazir Bhutto adalah potret seorang perempuan yang menantang nasib di dunia pria, dan dibungkam dengan cara paling maskulin: kekerasan. Tapi ingatan atasnya tidak pernah bisa dibunuh.
(mas)