JAKARTA - Lesunya masyarakat dalam merespon hari
pendidikan di berbagai platform sosial media mencerminkan bahwa persoalan pendidikan di Indonesia belum menjadi kesadaran kolektif yang kuat. Ini menandakan bahwa pendidikan tidak dipandang sebagai hal krusial seperti isu politik dan ekonomi.
Masyarakat belum merasa punya hubungan emosional atau urgensi atas kualitas pendidikan yang masih rendah selama dua puluh tahun lamanya.
Baca juga: Wacana Barak Militer Jadi Program Nasional, Sosiolog: Mencerminkan Krisis Sistem Pendidikan Hasil survei lembaga OECD dalam mengukur kemampuan literasi, numerasi dan sains yang merefleksikan kemampuan berpikir tingkat tinggi seperti daya kritis, berpikir abstrak, kreativitas dan problem solving murid SMA kita sangat buruk, hanya 1,5% yang memiliki level tinggi, sisanya menengah cenderung sangat rendah.
Adapun keinginan untuk berkembang (Growth mindset) hanya di angka 29% dibanding 63% siswa SMA di rerata negara yang disurvei. Tingkat perundungan masih tinggi sekitar dua kali lipat dibanding negara-negara OECD lainnya.
Apalagi masih buruknya kejujuran akademik yang tercermin dari maraknya praktik per-joki-an di ujian masuk perguruan tinggi (UTBK). Belum lagi, penelitian dari Republik Cek, Vit Machacek dan Martin Srholec yang menemukan tingginya jurnal akademik kita di peringkat kedua untuk jurnal yang tersitasi di jurnal predator.
Baca juga: Polemik Pembinaan Siswa di Barak, Komisi X DPR: Harus Dikawal Agar Tetap Edukatif Potret kualitas diatas, belum lagi kesenjangan akses dan minimnya infrastruktur sekolah, ternyata tidak membuat masyarakat memandang pendidikan terasa menyentuh di kehidupan nyata dan masa depan mereka.
Meskipun, masyarakat sadar bahwa kualitas pendidikan dapat menentukan peradaban bangsa, namun mereka masih memandang bahwa pendidikan masih sebagai urusan formal kelembagaan, tapi bukan tanggungjawab bersama untuk melakukan refleksi dan aksi.
Jika peringatan Hari Pendidikan hanya penuh seremoni tanpa menyuarakan inovasi nyata dan
kegelisahan terhadap kualitas, maka ia kehilangan rohnya. Ini bisa menunjukkan betapa kualitas belum menjadi cermin yang jujur di ruang publik.
Jadi, benar—lesunya peringatan Hari Pendidikan dapat dibaca sebagai simbol bahwa kualitas pendidikan di negeri ini belum menjadi “cermin yang berbicara”, apalagi menggugah.
Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) memandang lesunya animo publik terutama yang dirasakan kalangan guru dan anak muda karena mereka apatis dengan gonta-gantinya kebijakan kementerian pendidikan yang tidak menyentuh ke akar masalah. Masyarakat memandang kebijakan baru sekedar ganti istilah atau program yang tampak blingsatan tidak punya arah mau dibawa kemana.
Padahal dunia berubah sangat cepat dan tidak pasti. Kita seperti tidak memiliki visi dan peta jalan Pendidikan yang disepakati untuk diwujudkan bersama-sama.
Demikian yang disampaikan Muhammad Nur Rizal, selaku founder GSM dalam merefleksikan momentum Hari Pendidikan Nasional, Jumat (2/5/2025), dalam kegiatan Workshop GSM Bersama jajaran wakil bupati, kepala dinas pendidikan dan diikuti oleh lebih dari empat ratus kepala sekolah setingkat SD dan SMP dari Kabupaten OKU Timur, Sumatera Selatan.
Contoh ketidaksinambungan antara visi untuk menjadi manusia Indonesia seutuhnya dengan program yang akan diluncurkan kementrian pendidikan adalah pembelajaran coding dan AI.
Di tengah rendahnya fondasi berpikir kritis dan ilmiah anak kita dengan ekosistem sekolah yang mengekang, menyebabkan masih banyak siswa belum mampu membedakan fakta dan opini.
Anak kita belum terbiasa berpikir sebab-akibat sederhana, membaca grafik atau statistik atau belum tuntas berpikir konkret - logis, tiba tiba diajak belajar Coding dan AI yang berada di level abstrak–reflektif.
Maka yang terjadi adalah kecemasan belajar yang akan melahirkan ilusi kecerdasan. Bukan lompatan kemajuan yang terjadi, melainkan kemunduran yang terselubung oleh kemasan modernitas.
Kebijakan dan program kementerian seharusnya menguatkan fondasi berpikir dan budaya ilmiah siswa, yang sudah pasti memerlukan proses dan waktu tidak sebentar, tapi justru gonta ganti kebijakan yang tidak substantif.
“Jika hal ini terus terjadi, maka perubahan struktur yang kerap pemerintah lakukan tidak akan membuat masyarakat bergeliat karena tidak menyentuh kebutuhan mereka akan pendidikan. Yang kita butuhkan saat ini adalah perubahan mendasar atau revolusi kultural. Untuk itu, program pendidikan yang paling prioritas kita lakukan saat ini adalah Kembali ke Akar dan Kebudayaan”, tegas Rizal memberikan jawaban atas jalan keluar yang dilakukan GSM.
Rizal menjelaskan, “Apa yang dimaksud dengan kembali ke akar kebudayaan? Pendidikan harus kembali untuk menuntun kekuatan kodrat alam agar tumbuh sesuai dengan dunianya sendiri, seperti yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara. Kodrat itu adalah rasa ingin tahu, kreativitas, dan potensi yang beragam. Tapi hal itu harus dijalankan dalam kebudayaan yang tidak mengekang guru.”
Kembali ke akar berarti memberikan kedaulatan penuh pada guru untuk berkreativitas dalam mengajar. Kebijakan dan ekosistem pemerintah harus memantik guru berani membongkar mentalitas terjajah atau budaya feodalisme selama ini, dan merebut kembali ruang kreativitas dan keberanian berpikir.
"Guru diajak kembali ke akar sebagai manusia pembelajar, akar pedagogis sebagai penumbuh karakter, dan akar historis untuk memutus rantai penindasan kultural yang melahirkan manusia terpelajar namun terjajah secara jiwa. Inilah jati diri bangsa sebagai pijakan untuk berkompetisi di ranah global”, ujar Rizal.
Maka dari itu, GSM mengajak semua guru, anak muda dan masyarakat untuk turun membangun aksi rekonstruksi kesadaran kultural melalui beberapa kegiatan seperti: Arisan Ilmu antar Guru, Gerakan Anak Muda Turun ke Sekolah, dan NgKaji Filsafat Pendidikan untuk menentukan arah dan peta jalan pendidikan dari kebutuhan akar rumput.
Arisan Ilmu bertujuan untuk membangun kembali ekosistem pembelajaran kolaboratif, membumi, dan saling menguatkan antar pendidik sebagai agen perubahan. Kegiatan ini akan membalik arah pengetahuan dari atas (pakar/pemerintah) ke bawah menjadi horizontal partisipatif.
Sedangkan Gerakan Anak Muda Turun ke Sekolah, dilaksanakan selama tiga hari, pada 7-9 Mei 2025, di sebelas sekolah di Kulonprogo bersama sembilan puluh mahasiswa yang berasal dari berbagai kampus di Yogyakarta.
Bulan Pendidikan akan ditutup dengan acara NgKaji Filsafat Pendidikan di Kabupaten Kebumen yang akan dihadiri oleh lima ratus lebih guru, kepala sekolah, dan pegiat GSM dari berbagai daerah.
(nnz)