NEW YORK - Sinyal Amerika Serikat melunak dengan
China terkait tarif Impor semakin terlihat. Bahkan Elon Musk mengakui teknologi China kini telah menyalip AS.
BACA JUGA - Elon Musk Minta Semua Merek Hadang Mobil China Kisah BYD menyalip Tesla sudah banyak diketahui. Yang kurang disadari adalah bahwa hal ini mencerminkan gambaran masa depan – dalam teknologi demi teknologi, industri demi industri. Kekuatan disruptif dari kebangkitan teknologi China diperkirakan akan semakin dirasakan di Barat, terlepas dari perang dagang yang dilancarkan oleh Donald Trump untuk memperlambat atau menggagalkan kebangkitan China.
Perubahan besar dalam lanskap teknologi global ini mengundang perbandingan historis. Beberapa pihak menyamakannya dengan momen saat AS menyalip Inggris sebagai kekuatan teknologi utama dunia lebih dari satu abad lalu. Yang lain, dengan nada lebih suram, melihat kemiripan dengan kebijakan "merkantilis" Jerman pada akhir 1800-an saat Berlin berusaha mengejar ketertinggalan dari kekuatan industri mapan.
"Laju kemajuan China dalam produksi dan inovasi di berbagai industri sangat mencolok," tulis Robert Atkinson dan Stephen Ezell dari Information Technology and Innovation Foundation (ITIF), sebuah lembaga think tank di Washington seperti dilansir dari Carscoops.
"Sejarah telah menyaksikan kampanye seperti ini sebelumnya. Dari akhir 1800-an hingga Perang Dunia Kedua, Jerman menunjukkan bagaimana perdagangan dapat dijadikan senjata kekuasaan, tekanan, bahkan penaklukan."
Luasan dan kecepatan kebangkitan teknologi China membuat AS khawatir. Peneliti dari Australian Strategic Policy Institute menemukan bahwa China telah melampaui AS dalam 57 dari 64 bidang penelitian teknologi mutakhir. ITIF juga menemukan bahwa dari 10 sektor teknologi canggih, China unggul atau setidaknya mendekati pemimpin dunia dalam enam di antaranya.
Kisah-kisah individu menunjukkan tekad luar biasa di balik kemajuan China. Xiaomi, produsen ponsel asal China, mengumumkan pada 2021 bahwa mereka akan memproduksi kendaraan listrik. Banyak yang meragukan bahwa perusahaan muda yang bergerak di bidang ponsel bisa melompat ke industri yang sepenuhnya berbeda.
Namun, 18 bulan kemudian, mobil listrik pertama Xiaomi, SU7 yang bergaya futuristik, diluncurkan di Beijing. Lini produksi Xiaomi sangat otomatis sehingga satu unit SU7 bisa diproduksi setiap 76 detik. Pada tahun pertamanya, perusahaan itu menjual 137.000 mobil – lebih banyak kendaraan listrik dibandingkan Ford atau GM.
Yang paling menarik dari Xiaomi adalah visinya. Pimpinan perusahaan, Lei Jun, adalah seorang insinyur perangkat lunak yang memandang bisnis ponsel dan mobilnya sebagai jembatan menuju masa depan yang dilandasi kecerdasan buatan, atau seperti yang ia sebut, “AI hiper”. Dengan demikian, ponsel Xiaomi bisa terhubung dengan mobil Xiaomi, yang juga bisa terhubung dengan rumah pintar berbasis AI buatan Xiaomi. Pelanggan Xiaomi akan hidup dalam ekosistem end-to-end di mana AI membantu berbagai aspek kehidupan mereka.
Jadi, Anda bisa menyetir mobil sambil memerintahkan robot penyedot debu untuk membersihkan rumah. Atau, Anda bisa meminta rumah untuk meredupkan lampu, menyalakan pemurni udara, dan memasak nasi.
Visi masa depan berbasis AI ini juga mendorong banyak raksasa teknologi China lainnya. Salah satu kunci untuk mewujudkannya adalah infrastruktur telekomunikasi 5GA yang sangat cepat dan berkapasitas tinggi, yang mulai digulirkan China tahun ini – mendahului semua negara besar di Barat.
Infrastruktur baru ini, sebagian besar dikembangkan oleh raksasa telekomunikasi Huawei, mampu menghadirkan kecepatan data hingga 10 kali lipat dari 5G. Sebagian besar wilayah di Inggris masih menggunakan 4G, membuat mereka tertinggal dua generasi dibandingkan sekitar 300 kota di China yang akan menggunakan 5GA akhir tahun ini.
Kecepatan tinggi dari 5GA tidak hanya memungkinkan munculnya industri baru seperti mobil otonom, tetapi juga meningkatkan kinerja hampir seluruh teknologi yang terhubung, dari robot humanoid hingga AI generatif.
Robot “kung fu” yang diluncurkan oleh Unitree, salah satu pengembang robot terkemuka di China, menjadi viral di media sosial tahun ini karena kemampuannya menendang dan berputar melawan musuh imajiner tanpa kehilangan keseimbangan. Robot lain bernama Kuafu menunjukkan ketangkasan berbeda – mewawancarai pejabat China dengan suara robot dan pertanyaan yang jinak.
Sulit untuk menentukan apakah robot Unitree G1 atau “Atlas” buatan Boston Dynamics, pemimpin industri asal AS, yang lebih unggul. Mereka unggul dalam tugas yang berbeda. Namun dalam hal harga, tidak ada bandingannya: G1 dijual hanya $16.000 – jauh lebih murah dibandingkan Atlas.
Keunggulan biaya seperti ini – yang berulang dalam hampir semua bidang industri China – menunjukkan mengapa China memenangkan perang teknologi melawan AS. Dengan harga $16.000, robot Unitree dapat dijangkau banyak konsumen China. Ini menciptakan permintaan yang memungkinkan produksi massal, dan produksi massal menghasilkan efisiensi biaya yang membiayai iterasi produk selanjutnya.
Dinamika ini juga terlihat dalam sektor teknologi lainnya di China. Alasan utama mengapa DeepSeek, chatbot asal China, menghebohkan tahun ini adalah karena kemampuannya menyamai ChatGPT milik OpenAI, namun dengan biaya pengembangan yang jauh lebih rendah.
Basis biaya yang lebih rendah berkat rantai pasokan unggul memungkinkan perusahaan-perusahaan China meluncurkan lebih banyak pembaruan produk setiap tahun dibandingkan rekan-rekan mereka di AS. BYD, misalnya, memiliki setidaknya selusin model mobil listrik di pasaran dan akan meluncurkan sekitar lima lagi tahun ini. Sebagai perbandingan, Tesla hanya memiliki enam model.
"China adalah ancaman eksistensial bagi AS, melancarkan perang ekonomi – dan sedang memenangkannya." – Robert Lighthizer
Satu bidang besar di mana China masih tertinggal dari AS adalah semikonduktor canggih. Meskipun perusahaan chip China seperti SMIC dan CXMT besar dan menguntungkan, mereka masih tertinggal setidaknya satu generasi dibandingkan teknologi tercanggih milik Nvidia.
Namun, perusahaan-perusahaan China sedang mengejar ketertinggalan dengan cepat. Cara utama AS menghambat kemajuan China adalah dengan memblokir akses ke chip canggih buatan Nvidia dan peralatan pembuat chip terbaru dari ASML, perusahaan asal Belanda yang hampir memonopoli pasar tersebut.
Namun Huawei telah mengembangkan chip bernama Ascend 901C yang menurut para analis cukup canggih untuk menggantikan beberapa chip Nvidia kelas atas yang digunakan untuk menjalankan program AI. Huawei diperkirakan akan mulai mengirim chip baru ini secara massal dalam beberapa minggu ke depan.
Huawei juga berada di garis depan upaya China untuk lepas dari blokade teknologi AS atas peralatan pembuat chip. SiCarrier, perusahaan terkait Huawei yang sebelumnya tidak dikenal luas, mengejutkan industri pada 2023 dengan memperoleh paten atas teknik produksi chip 5-nanometer – jauh lebih canggih dari yang diyakini AS mampu dibuat oleh China.
Semua ini menunjukkan arah pergerakan. China memanfaatkan keunggulan biaya dan rantai pasokan untuk unggul dalam teknologi yang telah mereka kuasai dan mengejar ketertinggalan dalam bidang yang masih tertinggal.
Satu dekade ke depan akan menjadi penentu apakah Beijing mampu mengubah momentum ini menjadi dominasi yang berkelanjutan. Masih mungkin AS akan bangkit kembali dan merespons tantangan ini dengan semangat dan strategi baru. Tidak diragukan lagi, inilah ketakutan mendasar yang memotivasi perang dagang Trump terhadap China. Hampir semua pemikir top Partai Republik sepakat bahwa kebangkitan China adalah ancaman terhadap supremasi teknologi dan pengaruh global AS.
“Bagi saya, China adalah ancaman eksistensial bagi Amerika Serikat,” kata Robert Lighthizer, kepala perdagangan Trump pada masa jabatan pertamanya. “Mereka adalah lawan yang sangat, sangat kompeten… mereka sedang melancarkan perang ekonomi terhadap Amerika Serikat dan telah memenangkannya setidaknya selama tiga dekade terakhir.”
(wbs)