JAKARTA - Harta karun mineral
tanah jarang atau
rare earth disebut memainkan peran penting, dalam mendamaikan Amerika Serikat (AS) dan China yang terlibat perang dagang dalam beberapa tahun terakhir.
Perang dagang AS dan China memasuki babak baru, usai Senin kemarin mencapai kesepakatan untuk memangkas tarif dalam jangka waktu 90 hari ke depan.
Kesepakatan tarif AS dan China menjadi kabar baik, lantaran meredakan kekhawatiran pasar ihwal perang dagang. Di balik negosiasi diyakini bersinggungan dengan penguasaan dan kendali atas komoditas mineral tanah jarang atau rare earth.
Peran dominan China dalam pasar global rare earth, dan keinginan AS untuk menjaga pasokan itu tetap stabil menjadikan isu mineral tanah jarang menjadi sensitif dalam kesepakatan dagang. Rare earth merupakan komoditas vital karena digunakan dalam berbagai industri strategis, mulai dari baterai kendaraan listrik, ponsel pintar, hingga teknologi militer.
Baca Juga: AS Menemukan Cara Mengalahkan China dalam Dominasi Logam Tanah Jarang Selama ini China mendominasi pasar tanah jarang di market Negeri Paman Sam -julukan AS-. Harta karun tanah jarang atau rare earth dinilai kalangan analis menjadi alat China untuk menekan AS dalam negosiasi kesepakatan dagang yang lebih luas.
Di tengah ketegangan global, pasokan mineral ini dianggap sebagai isu keamanan nasional, bukan sekadar perdagangan biasa. AS menilai stabilitas akses terhadap rare earth dari China adalah hal yang tak bisa dikompromikan.
“Setelah mereka menghukum AS dengan kendali ekspor rare earth, mereka (China) tidak akan begitu saja melepaskan senjata ekonomi ini,” ujar Peneliti Senior Nonresiden di Atlantic Council, Dexter Roberts seperti melansir Fortune, Selasa (13/5).
Laporan Bloomberg terbaru, melalui kesepakatan dagang baru ini membuat AS akan lebih mudah mendapatkan izin ekspor tanah jarang dari Beijing. Namun pencabutan pembatasan secara menyeluruh dinilai tidak mungkin terjadi, menurut dua sumber industri di China.
China sebelumnya telah memasukan tujuh jenis mineral tanah jarang dan barang terkait ke dalam daftar kontrol pada bulan April sebagai bagian dari tindakan balasannya terhadap tarif AS. Keputusan tersebut berarti eksportir AS perlu mengajukan izin sebelum menjual di luar China, melansir Bloomberg, Selasa (13/5).
“China tidak ingin memutus total pasokan ke AS, tapi mereka ingin menggunakan itu sebagai ancaman,” kata Jeorg Wuttke, mitra di DGA-Albright Stonebridge Group. Ia menambahkan, Beijing tetap ingin tampil sebagai pemasok yang andal, sekaligus memperingatkan dampak dari kebijakan AS.
Data menunjukkan bahwa sepanjang 2024, ekspor rare earth China naik 6% menjadi 55.431 metrik ton. Namun karena harga yang fluktuatif, nilainya justru turun 36% ke angka USD488 juta.
Saat perang dagang memuncak, produksi mineral ini di China sempat nyaris berhenti karena ketatnya regulasi dan anjloknya permintaan asing.
Sementara itu, AS mulai mencari alternatif pasokan dari negara lain seperti Greenland dan Ukraina. Meski punya cadangan sendiri, eksplorasi domestik belum berkembang karena mahal dan berdampak lingkungan.
“Pembangunan tambang baru rata-rata butuh waktu 18 tahun untuk bisa beroperasi,” tulis laporan S&P Global.
Baca Juga: Misi Australia Meruntuhkan Dominasi China dalam Logam Tanah Jarang Beberapa perusahaan AS pun mulai mengambil inisiatif. Tesla termasuk yang pertama mengajukan lisensi pembelian rare earth ke China. Menurut Reuters, ada sinyal bahwa proses persetujuan bisa lebih cepat seiring mencairnya hubungan dua negara.
Para analis memprediksi, kesepakatan lebih lanjut soal rare earth bisa diumumkan dalam waktu dekat. “Mereka bisa saja mengumumkan sesuatu terkait rare earth dalam beberapa hari ke depan,” ujar Roberts.
(akr)