floating-Penjualan Masih Lemas,...
Penjualan Masih Lemas, Insentif Mobil Listrik Bakal Dievaluasi, Apa Dampaknya?
Penjualan Masih Lemas,...
Penjualan Masih Lemas, Insentif Mobil Listrik Bakal Dievaluasi, Apa Dampaknya?
Selasa, 20 Mei 2025 - 18:47 WIB
JAKARTA - Kabar mengejutkan datang dari jantung industri otomotif nasional. Pemerintah Indonesia tengah bersiap mengevaluasi ulang kebijakan insentif untuk mobil listrik berbasis baterai (BEV) pada akhir 2025.

Keputusan krusial ini dipicu oleh realitas pahit: penjualan BEV di Tanah Air masih jauh di bawah ekspektasi, bahkan ketika ambisi elektrifikasi global kian membara. Sebuah drama ekonomi yang mempertaruhkan masa depan mobilitas ramah lingkungan Indonesia.

Data penjualan berbicara lantang. Hingga April 2025, total penjualan BEV baru menyentuh angka 23 ribu unit.

Jika tren ini berlanjut sepanjang tahun, diproyeksikan penjualan hanya akan mencapai 63 ribu unit. Angka ini bagaikan titik kecil di tengah lautan target yang telah dicanangkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 6 Tahun 2022. Regulasi itu menargetkan produksi BEV mencapai 400 ribu unit pada tahun 2025, melonjak menjadi 600 ribu unit pada 2030, dan puncaknya 1 juta unit pada 2040.

Kesenjangan yang teramat lebar ini memicu pertanyaan serius tentang efektivitas insentif yang ada.

Di sisi lain, masa bulan madu bagi BEV dengan skema completely built up (CBU) untuk tujuan test market akan segera berakhir di pengujung tahun ini, sesuai amanat Permenperin Nomor 6 Tahun 2023.

Artinya, mulai 2026, para pemain BEV yang ingin tetap menikmati insentif pajak, seperti Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) 0% dan Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) 10% (sehingga PPN yang dibayar hanya 2%), harus berkomitmen untuk memproduksi kendaraannya di dalam negeri.

Saat ini, BEV CBU masih menikmati insentif bea masuk (BM) 0% dari yang seharusnya 50%, serta PPnBM 0% dari seharusnya 15%. Total pajak yang dibayar ke pemerintah pusat oleh BEV CBU hanya 12% dari yang seharusnya 77%.

Sebuah relaksasi masif yang tak akan berlaku lagi tahun depan, memaksa industri untuk berinvestasi lokal atau kehilangan keistimewaan.

Perluasan Insentif sebagai Penyelamat Pasar Otomotif?

Pemerintah tak hanya berfokus pada BEV. Wacana untuk mengkaji pemberian insentif bagi produk otomotif berteknologi lain, seperti hybrid electric vehicle (HEV) hingga hidrogen, kini mengemuka. Perluasan insentif ini dianggap krusial untuk kembali menggairahkan pasar mobil yang telah menunjukkan penurunan dalam dua tahun terakhir.

Para ekonom turut angkat bicara. Mereka mengusulkan agar pemerintah memperluas insentif fiskal bagi mobil berdasarkan tingkat emisinya. Pada titik ini, mobil HEV dan low cost green car (LCGC) dinilai layak mendapatkan PPN DTP, meskipun dengan besaran yang lebih rendah dari BEV.

Sebagai contoh, HEV bisa diberikan PPN DTP 5%, sementara LCGC bisa 3%. Sebagai informasi, tahun ini HEV dan LCGC telah mendapatkan PPnBM DTP sebesar 3%.

Nilai tambah pemberian insentif kepada HEV dan LCGC diyakini akan lebih besar dibandingkan BEV. Mengapa? Karena Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) HEV dan LCGC jauh di atas BEV, mencapai lebih dari 50%, dibandingkan BEV yang paling banter hanya mencapai 40%.

Selain itu, pemerintah juga disarankan untuk mempertimbangkan kembali insentif PPnBM-DTP untuk mobil rakitan lokal bermesin pembakaran internal (internal combustion engine/ICE), mirip dengan langkah yang pernah dilakukan pada tahun 2021 untuk merespons pandemi Covid-19.

Baca Juga: Ukuran Baterai Jadi Masalah Besar Mobil Listrik yang Tak Bisa Dihindari

Kebijakan ini terbukti efektif, mengangkat penjualan mobil menjadi 887 ribu unit pada 2021 dari 578 ribu unit pada tahun 2020. Pasar mobil bahkan pulih dan menembus 1 juta unit pada tahun 2022.

Namun, kejayaan itu tak bertahan lama. Pasar mobil kembali terperosok pada tahun 2024 menjadi 865 ribu unit, seiring melemahnya daya beli masyarakat, pengetatan kredit, dan meningkatnya ketidakpastian ekonomi global.

Hingga April 2025, penjualan mobil semakin terpuruk, turun 2,9% menjadi 256 ribu unit, dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 264 ribu unit. Jika angka ini disetahunkan, penjualan mobil 2025 diproyeksikan turun 11% menjadi hanya 769 ribu unit. Ini berarti, penjualan mobil telah turun selama dua tahun beruntun, sebuah indikasi kuat bahwa industri otomotif nasional sedang mengalamikrisis.

Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan (IMATAP) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Mahardi Tunggul Wicaksono menegaskan, pemerintah terus mengakselerasi transformasi industri otomotif nasional menuju era elektrifikasi melalui kebijakan insentif fiskal dan non-fiskal. Kemenperin telah menerbitkan berbagai regulasi strategis untuk mendukung target net zero emission (NZE) nasional.

Salah satu instrumen kunci, kata dia, adalah penguatan regulasi yang mewajibkan pemenuhan local purchase dan/atau TKDN dalam proses produksi kendaraan bermotor.

“Melalui regulatory framework yang telah disusun, industri KBM yang memenuhi ketentuan local purchase dan TKDN dapat memperoleh insentif baik fiskal maupun non-fiskal. Ini menjadi langkah strategis dalam menciptakan industri otomotif yang mandiri dan berdaya saing,” ujar dia dalam diskusi “Menakar Efektivitas Insentif Otomotif,” yang digelar Forum Wartawan Industri (Forwin) di Jakarta, Senin (19/5/2025).
(dan)
Baca Berita
Dengarkan Selanjutnya :
Gaikindo Mendukung Insentif...
Gaikindo Mendukung Insentif Tidak Hanya untuk Mobil Listrik, tapi Juga Hybrid, LCGC, hingga ICE
Ukuran Baterai Jadi...
Ukuran Baterai Jadi Masalah Besar Mobil Listrik yang Tak Bisa Dihindari
Merek Jepang Didesak...
Merek Jepang Didesak Segera Produksi Baterai Sendiri
AS Sebut Harga Mobil...
AS Sebut Harga Mobil Listrik Seharusnya Lebih Murah, Ini Alasannya
Volkswagen Umumkan Model...
Volkswagen Umumkan Model Golf Series Akan Menjadi Mobil Listrik