floating-Demonstrasi Kertas Kosong...
Demonstrasi Kertas Kosong dan Ketakutan Pemerintah Komunis China
Demonstrasi Kertas Kosong...
Demonstrasi Kertas Kosong dan Ketakutan Pemerintah Komunis China
Jum'at, 02 Desember 2022 - 16:09 WIB
Harryanto Aryodiguno, Ph.D

Dosen Jurusan Hubungan Internasional President University, Jababeka-Cikarang


BEBERAPA hari ini, kota-kota besar di China diguncang demonstrasi. Demonstrasi tersebut dimulai dengan peringatan untuk 10 korban yang tewas pada 24 November 2022 dalam kebakaran apartemen di Urumqi, Xinjiang, sebuah wilayah di barat laut China yang tempat penduduknya tinggal dalam keadaan terkunci selama lebih dari 3 bulan.

Para demonstran tersebut memegang kertas kosong berwarna putih di atas kepala mereka sebagai bentuk protes dan ketidakpuasan kepada pemerintah tentang kebijakan Nol Covid. Kebijakan Nol Covid yang menjadi pangkal protes memang telah dikritik habis-habisan oleh publik China. Yang jelas, kebijakan tersebut telah terlihat nyata dampaknya ke ekonomi Negeri Tirai Bambu yang terus menurun. Dan ini juga merupakan salah satu sebab yang membuat para mahasiswa dari universitas terkenal seperti Peking University dan Tshinghua University turun ke jalan memprotes pemerintah.

Sebenarnya, para pemimpin di China sangat takut dan sangat sadar akan bahaya dari demonstrasi mahasiswa, karena pada saat pemerintah Republik China di bawah Chiang Kai-shek berhasil diusir ke luar China bukan mengandalkan senjata dan ideologi komunis yang miskin, tetapi mengandalkan gerakan mahasiswa yang sudah tidak ada harapan terhadap masa depan China pada saat itu.

Baca juga: Demo China Meluas, Massa: Gulingkan Partai Komunis, Gulingkan Xi Jinping!

Mahasiswa di Tshinghua menyatakan mereka membutuhkan kebebasan, mereka tidak membutuhkan pengekangan atas nama pembersihan virus. Mahasiswa menyatakan virus yang paling mematikan adalah pengekangan, pembatasan pergerakan atau penjara dalam rumah. Lebih baik mati daripada kebebasan hidup dan bergerak dirampas, demikianlah slogan mahasiswa saat ini. Slogan tersebut juga pernah menjadi senjata yang berhasil menumbangkan pemerintahan Nasionalis di tahun 1949, akan tetapi gagal menumbangkan pemerintah komunis pada tahun 1989 atau yang lebih dikenal dengan Peristiwa Tiananmen.

Di China, semenjak Republik berdiri, terdapat tiga kali demonstrasi mahasiswa terbesar yang menentang pemerintah dan berjuang untuk kebebasan hidup dan kebebasan asasi mereka. Rakyat China mempunyai pemikiran yang sangat sederhana, menghormati orang tua, menghormati pemimpin, dan mencintai negara. Akan tetapi pemikiran yang sederhana itu dikalahkan oleh kelaparan yang melanda dan pembatasan bersuara pada era Chiang Kai-shek. Itu yang dimanfaatkan oleh komunis untuk menggerakkan mahasiswa dengan janji membangun China baru yang bebas dari kapitalisme dan feodalisme, China baru yang akan membawa kebebasan dan kebahagiaan buat seluruh Rakyat China.

Demonstrasi mahasiswa yang kedua kalinya atau secara besar-besaran terjadi pada tanggal 4 Juni 1989 atau yang lebih dikenal dengan Peristiwa Tiananmen. Untuk kelompok pro pemerintah China, peristiwa ini selalu dikaitkan dengan campur tangan negara asing, terutama Amerika Serikat dan sekutunya yang bertujuan mengacaukan China,dengan alasan Amerika takut dengan kebangkitan rakyat China. Sementara, kelompok yang pro demokrasi atau pro demonstran selalu menyatakan bahwa ini adalah murni suara rakyat yang tertindas.

Terlepas dari ada atau tidak adanya campur tangan asing, yang namanya kerusuhan pasti selalu ada penyulutnya, baru kemudian pihak asing bisa berperan atau mengambil kesempatan dalam kekacauan tersebut. Lantas demonstrasi 4 Juni 1989 yang katanya didanai Amerika itu sebenarnya awalnya bagaimana bisa terjadi dan apa yang membuat mahasiswa berani turun ke jalan untuk bersuara menyatakan pendapatnya di negara yang sangat takut dengan demonstrasi tersebut? Mari kita lihat kilas balik 4 Juni 1989.

Peristiwa Tiananmen adalah tragedi pembantaian demonstran terbesar pada era pemerintahan komunis. Dalam peristiwa Lapangan Tiananmen 4 Juni 1989 atau dalam bahasa China lebih dikenal dengan 6/4 atau Insiden Enam Empat, koban-korban terdiri dari mahasiswa, buruh, dan masyarakat biasa yang memprotes Pemerintah China karena dianggap membungkam demokrasi.

Awal mula peristiwa tersebut dimulai pada Mei 1989, ketika hampir satu juta orang China yang kebanyakan pelajar muda, memadati pusat kota Beijing untuk menuntut demokrasi yang lebih besar. Mereka juga meminta pengunduran diri para pemimpin Partai Komunis China yang dianggap terlalu represif. Pemicu kedua dari demo ini adalah meninggalnya Sekretaris Jenderal Partai Komunis, Hu Yaobang, pada 15 April 1989. Hu dikenal sebagai tokoh reformis yang membuka diri terhadap demokrasi.

Untuk mengenang kematian Hu Yaobang, para mahasiswa dan pemuda berkumpul di Lapangan Tiananmen. Mereka menyuarakan ketidakpuasan kepada Pemerintah China yang otoriter. Pada 22 April, digelar upacara peringatan resmi untuk mengenang Hu Yaobang yang diadakan di Balai Agung Rakyat di Lapangan Tiananmen. Perwakilan mahasiswa turut datang sambil membawa petisi ke tangga Balai Agung Rakyat. Para mahasiswa ini menuntut untuk bertemu dengan Perdana Menteri Li Peng dan meminta kejelasan atas kematian Hu Yaobang yang dianggap misterius. Namun, Pemerintah China menolak pertemuan itu. Hal ini memicu aksi demonstrasi besar yang dilakukan mahasiswa dari berbagai universitas di seluruh China. Mereka mulai menyuarakan reformasi.

Untuk menangani demonstrasi yang semakin meluas, tentara komunis dikerahkan menuju Lapangan Tiananmen. Para tentara mulai menembaki dan menyerang pengunjuk rasa. Tindakan penembakan ini memicu kemarahan warga yang berujung pada pembalasan penyerangan, seperti melempari bom molotov, melawan dengan tongkat dan batu. Pada tanggal 4 Juni 1989 tentara komunis menyerbu Lapangan Tiananmen dan menembaki para pedemo seperti tentara Jepang membasmi penduduk jajahannya pada tahun 1942-1945. Para mahasiswa berusaha melarikan diri dari amukan tentara komunis, sedangkan pengunjuk rasa lainnya melawan dengan melempar batu, serta membalikkan dan membakar kendaraan militer.

Pada 5 Juni 1989, tentara komunis melakukan pembersihan Lapangan Tiananmen dan berhasil mengambil alih tempat itu. Demikian sekilas peristiwa Tiananmen yang berhasil membungkam suara rakyat China dan selanjutnya membuat rakyat China apatis dan acuh tak acuh terhadap politik. Rakyat China lebih memilih bekerja di bidang yang tidak bersinggungan dengan pemerintah, karena mereka tau, tidak ada gunanya melawan pemerintah, toh akhirnya mereka akan menjadi korban atau pihak yang disalahkan pemerintah maupun pihak yang dimanfaatkan oleh asing.

Peristiwa demonstrasi terbesar dalam sejarah Republik ini sebenarnya bermula dari Urumqi, yang dikenal dengan mayoritas etnis Uighur sebagai penghuni utama di kota tersebut. Tetapi kebakaran di apartemen Urumqi yang menyulut peristiwa antipemerintah tersebut mendapat dukungan dari etnis Han yang berdomisili di kota-kota besar seperti di Shanghai dan Beijing.

Efek dari tragedi di Urumqi, warga Shanghai berkumpul sebagai bentuk berkabung dan meneriakkan kata-kata seperti "Jangan membatasi pergerakan manusia, buka blokade", "Kami tidak membutuhkan PCR, kami butuh kebebasan", dan slogan yang sangat sensitif seperti "Partai Komunis mundur" dan "Xi Jinping mundur." Kampanye menentang kebijakan "menolak kebijakan pemerintah" yang diprakarsai oleh mahasiswa perguruan tinggi seperti di Changchun, Beijing, Tianjin, Shijiazhuang, Qingdao, Nanjing, Hangzhou, Fuzhou, Guangzhou, Wuhan , Xi'an, Chengdu, dan Urumqi, itu mendapat dukungan dari mahasiswa China di luar negeri maupun di Taiwan, gerakan mahasiswa itu berkobar satu demi satu seperti bara dalam peperangan.

Rakyat di daratan China menggunakan cara yang sangat kreatif untuk mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap rezim Komunis. Mereka juga kreatif dalam menggunakan Bahasa sindiran di media untuk menghindari penyensoran pejabat penjilat, salah satu contohnya adalah menggunakan kalimat "Saya telah melihat kejadian tersebut" untuk menggantikan kalimat "Protes Spanduk Jembatan Sitong" yang terjadi di Beijing sebelum "Kongres Nasional ke-20". Kemudian mengapa "kertas kosong atau kertas putih" digunakan pada gelombang protes kali ini? Sebenarnya ini semua berawal dari dari gerakan "antiekstradisi" di Hong Kong dan demonstrasi antiperang di Moskow. Semua peserta mengangkat kertas kosong untuk mewakili kemarahan mereka yang tak tersalurkan. Kertas kosong artinya diam dan tidak ada tulisan, yang merujuk pada penindasan kebebasan berbicara.

Lihat Juga: Demo Pembatasan Covid, Warga China Minta Xi Jinping Mundur

Sebenarnya kebakaran di Urumqi itu bukan satu-satunya alasan yang membuat mahasiswa berdemonstrasi. Kebijakan Nol Covid dan pencegahan penyebaran virus yang terlalu ekstrem dari pemerintah telah menyebabkan penderitaan yang tiada taranya pada rakyat China. Contoh lain adalah akibat dari pembatasan pergerakan manusia, seorang anak laki-laki di Lanzhou meninggal karena keracunan karbon monoksida dan karena keterlambatan mencari perawatan medis. Kemudian, pemindahan paksa pasien yang diisolasi di Guizhou menyebabkan kecelakaan lalu lintas yang menewaskan 27 orang. Lebih tragis lagi, banyaknya keguguran pada wanita hamil akibat keterlambatan menuju ke rumah sakit dan penolakan dari rumah sakit karena menunggu hasil PCR. Menurut masyarakat China, ini adalah kebijakan konyol yang akan membuat rakyat mati secara perlahan, karena selain kejadian di atas, kebijakan menutup kota telah memutus mata pencarian dan ekonomi rakyat.

Mengamati "demonstrasi kertas kosong", secara bertahap kita melihat muncul kecenderungan partisipasi universal dari rakyat China, keberanian dari rakyat yang tertindas, keberanian untuk mencari keadilan, dan keberanian untuk menyampaikan tuntutan yang jelas kepada pemerintah. Pendapat yang ingin diungkapkan publik terutama adalah tentang perlunya "pembersihan total dan berkelanjutan" virus Covid-19 yang menyimpang dan melanggar hak asasi rakyat. Kemudian pemerintah diminta untuk segera menghentikan blokade yang tidak perlu. Pemerintah harus mendengarkan lagi tuntutan rakyat seperti perjuangan untuk demokrasi dan penegakan hukum, kebebasan berbicara, dan bukan kediktatoran dari penguasa, pemerintah hadir bukan untuk memusatkan kekuasaan, dan juga bukan untuk melanggengkan kekuasaan, tetapi untuk kesejahteraan rakyat.

Singkatnya, dalam merespons "demonstrasi kertas kosong", bagaimana Partai Komunis China mencari solusi? Atau tetap memilih untuk berperan sebagai penguasa yang diktator, menciptakan kebohongan yang mengatakan bahwa demonstrasi telah ditunggangi pihak asing, dan terus pamer keberhasilan yang tidak 100 persen dari pembangunan yang ada di China?

Bagaimanapun, meskipun kita tahu bahwa Partai Komunis tidak akan pernah mengakui kesalahannya, tetapi kita harus serius memohon kepada Beijing untuk menerima kenyataan bahwa pencegahan dan pembasmian virus Covid-19 itu sangat penting. Namun, tidak dengan cara melanggar hak hidup manusia dan tidak menggunakan kekerasan terhadap orang yang ingin mengungkapkan pendapatnya dan terutama kepada mereka yang menderita akibat dari blokade tak tahu sampai kapan.
(zik)
Baca Berita
Dengarkan Selanjutnya :
Kenapa Tidak Ada yang...
Kenapa Tidak Ada yang Berani Bongkar Makam Kaisar China Pertama? Ini Jawabannya
Rusia dan China Kebut...
Rusia dan China Kebut Mega Proyek Pipa Gas Baru Berjuluk Power of Siberia 2
AS: Jet Tempur J-10...
AS: Jet Tempur J-10 China Milik Pakistan Tembak Jatuh 2 Pesawat India, Salah Satunya Rafale
Aktivitas Sektor Jasa...
Aktivitas Sektor Jasa China Menurun di Tengah Tekanan Tarif AS
Xi Jinping Tegaskan...
Xi Jinping Tegaskan Rusia dan China akan Lawan Paksaan di Panggung Dunia